Cyber Space

Oleh: Mohammad Sabri

NASIONALISME atau paham kebangsaan lahir bukan untuk mengusung kepentingan sebuah ras, agama, komunitas, atau etnik tertentu melainkan untuk “sesuatu yang dibayangkan”. Pendakuan itu lahir dari permenungan ilmuan politik Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflection on the Origin and Spread of Nationalism (1983). Bangsa adalah sebuah komunitas yang “terbayangkan” karena, pada intinya, mereka tidak saling mengenal  satu sama lain.

Tapi eloknya—meski  mereka tidak saling jumpa secara fisik dan tak saling mendengar tentang mereka secara seksama—di dalam benak masing-masing terdapat keterkaitan emosional sebagai comradeship yakni “semangat persaudaraan yang membentang secara horizontal.” Belakangan, Anderson menyebut ide kebangsaan sebagai “proyek imajinasi” yang mengandaikan kepercayaan tentang nasib bersama, masa depan bersama, dan satu kesetiakawanan, yang melebar ke samping dalam bentuk solidaritas horizontal. Inilah yang telah memungkinkan begitu banyak orang bersedia berkurban untuk “misi suci” yang “dibayangkan” sebagai cita-cita luhur bangsa.

Menghadirkan tesis Anderson ke hadapan “realitas” Indonesia sebagai bangsa multikultur—meski tak sedikit pihak yang melontarkan badai kritik terhadap “proyek imaginasi” Andersonian ini—terasa kian urgen. Apalagi kenyataan aktual bangsa kita acapkali diterjang prahara konflik sosial yang meledak-melebar karena disulut SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan). Kenyataan ini justru menjadi “mimpi buruk” bagi imajinasi setiap warga bangsa tentang Indonesia yang harmoni, damai, dan tenteram dalam saputan kepelbagaian.

Di sini, SARA amsalkan minyak di atas nyala api yang membakar dan melumat sekian banyak manusia di panggung sejarah. Suara-suara pesimistis terhadap fakta ini bahkan menyimpulkan: sekali SARA bermain dalam konflik dan pertikaian, sulit rasanya orang keluar dari sana tanpa luka-luka sosial dan ruhani yang mendalam. Itu sebab, meroketnya angka kekerasan atas nama agama, suburnya ujaran kebencian dan penistaan agama tertentu di sosial media, penyerangan, penjarahan dan pemboman rumah-rumah ibadah akhir-akhir ini, dapat dipandang sebagai letupan yang dapat merobek “ruang” kebangsaan kita.

Dalam studi semiotika, “ruang” (space) diandaikan sebagai tanda (sign) karena ruang dimaknai oleh manusia. Dalam nafas kehidupan manusia—selain diberi makna—ruang juga diberi fungsi tertentu sehingga ruang menjadi “tempat” (place). Di titik ini, kita kemudian mengenal ruang dan tempat publik, privat, dan suci. Ruang dan tempat, karena itu, adalah produk kebudayaan manusia.

Danesi dan Perron dalam Analyzing Culture (1999), mencoba meletakkan “jejak” kesadaran piramidal dalam percakapan ruang. Kajian semiotik Danesi dan Perron mengandaikan ada tiga variabel pada konsep ruang yang ditautkan dengan ruang-sadar warga: (1) “teritorialitas”, (2) “kepanjangan diri” (extension of self), (3) “konotasi sosial”. Meminjam cakrawala mereka, akan coba dikaji “ruang” kebangsaan kita.

Pada alas piramida, teritorialitas memosisikan “ruang” sadar kebangsaan sebagai nature yang bersifat material-obyektif dan karena itu punya katup primordial seperti wilayah, etnik, kelompok, komunitas, dan kerapatan sosial, yang dalam pendakuan Barthes disebut gejala denotasi. Fase ini disebut juga kesadaran “aku-teritorial”—ditandai dengan mekarnya ethno-nationalism sebagai kohesi kelompok “sub-kebangsaan” atau “suku bangsa”—yang di  tahun 1920-an mewujud sebagai Jong Java, Jong Sumatranen, Jong Islamieten Bond,  Jong Bataks, Jong Celebes, Jong Borneo, Pemoeda Kaoem Betawi, dan seterusnya.

Sementara itu, di lapis tengah piramida ruang-sadar kebangsaan diisi “kepanjangan diri” (extension of self)mengandaikan sebilah kesadaran yang melampaui sekat-sekat teritori-primordial dan melesat menembus ke tujuan yang “lebih tinggi”—yakni kebutuhan akan nation-state. Kesadaran inilah yang meledakkan api revolusi kemerekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945. Ruang sebagai extension of self, lagi-lagi oleh Barthes didaku sebagai gejala konotasi.  

Ruang sadar kebangsaan di puncak piramida dipenuhi “konotasi sosial” yakni kemampuan satu bangsa tidak hanya memroduksi sistem tanda, jagat kode, dan galaksi lambang sebagai manifesto dari nilai-nilai luhur utama (virtues) yang terkandung dalam ladang subur dan samudra kearifannya, tapi sekaligus kemampuannya memecahkan sistem pertandaan global. Di titik ini, Pancasila—yang digali para pendiri bangsa khususnya secara ekstensif-filosofis-genial amat benderang dalam bentang ide Sukarno—adalah “kode kebangsaan” paling autentik sepanjang sejarah keberadaan Nusantara.

Kini ruang kebangsaan kita tengah dihadapkan pada era globalisasi yang mengandaikan interkoneksi yang serba melintasi dan tanpa sekat (borderless) baik dalam hubungan-hubungan antar bangsa, masyarakat, komunitas, hingga persilangan kepentingan antar bidang kehidupan seperti ekonomi, politik, budaya, agama, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan seterusnya, menyusul gejala cyberspace dan postreality.

Hubungan antar bangsa di era global, tidak lagi dipasung oleh kerangka nation-state dan pola-pola relasi internasional yang konvensional, tetapi bergeser menjadi tatanan baru yang disebut global society. Sistem global juga makin memperlebar global market dengan jaringan transnasional dan online system yang kian bersifat mondial laiknya octopus. Pasar kini telah tumbuh menjadi lengan-lengan raksasa yang mengangkangi setiap penjuru dunia dan sudut-sudut lingkungan kebudayaan di seantero jagad ini melalui pesona dan aneka iklan yang menggoda.

Lihatlah yang paling kasat mata: anak-anak milineal Indonesia dalam hal makanan saja misalnya, telah mengalami gejala “McDonalisasi” dan menjadi bagian dari gaya hidup mereka. Semetara dalam dunia entertaint, anak-anak itu telah berada di bawah bayang-bayang hipnotisme film-film produk Jepang dan Amerika, di mana gambar dan mainan dari figur tokoh-tokoh fiktifnya telah terpajang di etalase toko-toko mainan. Juga, pesona yang apaling anyar, gelombang hipnotisme fashion, food, dan film Korea, telah menerbitkan “realitas” baru dan menjelma mantra dalam benak anak-anak mileneal kita.

Hubungan-hubungan sosial pun sedemikian rupa telah memasuki babak baru: ruang-maya (cyber space) yang tak sedikit menerbitkan kegaduhan di ruang “publik”. Negara, hingga batas tertentu telah mengalami pelemahan dan “takluk” dalam cengkeraman wibawa pasar global berciri cyber dan digital. Fenomena ini berpotensi menekuk fungsi-fungsi negara secara radikal dan pada urutannya menyulut tuntutan baru kemanusiaan global: dunia tanpa negara. Di titik ini, percakapan perihal “ruang kebangsaan” lalu menjadi gagap, genting, dan rapuh. (*)

* Direktur Pengkajian Materi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).