Oleh: M. Nigara

INI hanya kisah pengulangan. Kisah yang sempat viral melalui unggahan facebook Noviani Zaini dan diturunkan oleh Tribunjambi.com (7/9/16). Tapi sayang kisah itu tenggelam oleh hiruk-pikuk kehidupan.

Hari ini, Sabtu (6/7/19), tepat sepuluh hari pasca sembilan hakim MK yang dengan gagah telah ‘melaksanakan tugas dan fungsi sungguh mulia’ – karena Hakim adalah wakil Tuhan di dunia – dengan menolak seluruh tuntutan Bambang Wijoyanto, Denny Indrayana, Teuku Nasrullah, dan kawan-kawan yang menjadi Kuasa Hukum paslon Prabowo-Sandi di Pilpres 2019. Atas nama konstitusi, Hakim MK telah pula memvonis setidaknya 62-70 juta rakyat Indonesia pemilih Prabowo-Sandi menjadi orang-orang bodoh.

Saya sengaja mengangkat kembali kisah Hakim Marzuki vs Nenek Pencuri Singkong di Jambi agar menjadi bahan renungan bagi kita. Marzuki, sungguh-sungguh telah mengambil ‘peran Tuhan’ dalam menegakkan keadilan. Marzuki, harusnya membuat malu bukan hanya para hakim di MK, tapi juga para pejabat yang nyata-nyata tidak sesuai dengan kemuliaan.

Di bawah ini cuplikan dari Tribunjambi, judulnya saja membuat kita merinding:
Hakim Menangis saat Menjatuhkan Vonis pada Nenek Ini, Ia Berkata Maafkan Saya!
Kita jadi teringat pembukaan sidang sengketa Pilpres:
Sidang Ini disaksikan Allah dan para Malaikat. Rasanya…adeeem banget. Tapi hasilnya seperti bumi dengan lagit.

Mata hati

Hakim Marzuki menghela nafas, dia memutus di luar tuntutan Jaksa PU, “Maafkan saya,” katanya sambil memandang nenek itu.

“Saya tidak dapat membuat pengecualian hukum, hukum tetap hukum, jadi anda harus dihukum. Saya mendenda anda Rp 1 juta rupiah dan jika anda tidak mampu membayar maka anda harus masuk penjara 2,5 tahun, seperti tuntutan jaksa PU.”

Nenek itu tertunduk lesu, hatinya remuk redam. Hakim Marzuki tiba-tiba mencopot topi. Ia membuka dompetnya kemudian mengambil dan memasukkan uang sejumlah Rp 1 juta rupiah ke dalam topi tersebut dan berkata kepada hadirin…
“Saya atas nama pengadilan, juga menjatuhkan denda kepada setiap orang yang hadir di ruang sidang ini sebesar Rp 50 rb rupiah, sebab menetap di kota ini, dan membiarkan seseorang seperti nenek ini kelaparan sampai harus mencuri untuk memberi makan cucunya. Termasuk anda dari PT… yang tetap ingin menuntut meski nyata-nyata sang nenek mencuri karena keterpaksaan!” tegas Hakim Marzuki.

Seluruh pengunjung sidang terkesiap, Jaksa Penuntut juga ikut terperanjat, dan perwakilan perusahaan yang menuntut dengan alasan untuk membuat jera, jadi tersipu malu. Dan kisah diakhiri dengan happy ending, uang denda Rp 1 juta terbayar dari Hakim Marzuki, dan sang nenek pulang dengan senyum karena membawa sumbangan sebesar Rp 3,5 juta untuk mengobati anaknya yang sakit dan dapat memberi makan sang cucu.

Marzuki sungguh telah bukan saja mengedepankan mati hati. Namun, ia juga menegakkan keadilan.

Kisah ini juga mengingatkan kita pada kisah Sayyidina Ali, ‘pencuri’ baju besi, dan Hakim Syuraih. Kisahnya yang sempat dikutip oleh saksi ahli 01, seorang profesor yang keliru berat. Rasulallah memang sempat membebaskan seorang pencuri karena bersyahadat, tapi tidak ada kaitannya dengan kisah baju besi Ali.

Akhir dari kisah Hakim atau Qadhi Syuraih, Ali, dan pencuri Yahudi juga indah. Hukum ditegakkan, padahal Syuraih adalah mantan murid Ali, dan Ali adalah Khalifah. Baju besi sebagai barang bukti, juga secara sah dan meyakinkan memang milik Ali. Tapi, ketika saksi kurang satu, maka hukum benar-benar tak berpihak. Buah dari kejujuran dan keadilan itu, si Yahudi menjadi mualaf.

Sayang makna dua kisah indah itu tak jadi dasar dalam sengketa pilpres. Sayang Marzuki dan Syuraih tidak ada di MK. Tapi, dari dua kisah itu, kita tahu mana hakim yang mampu menegakkan keadilan, mana yang jauh dari keadilan.

Kalau saja Hakim Marzuki ada di MK, keadilan bukan tidak mungkin bisa ditegakkan. Kalau saja Hakim Syuraih masih ada, mungkin kita tak perlu ragu tentang keadilan. Sayang keduanya bukan Hakim MK. Maka keraguan, sakwasangka, kecurigaan, dan ketidakpercayaan menjadi bagian dari keputusan MK.

Menarik disimak, hadis yang sangat populer yang dirawikan oleh para pengarang kitab Sunan bahwa para Hakim itu hanya tiga orang. Satu orang di surga dan dua lainnya di neraka. Seorang yang di surga adalah Hakim yang mengetahui kebenaran, lalu menetapkan hukum dengan kebenaran itu. Ia di surga. Seorang lagi, Hakim yang mengetahui kebenaran, tapi culas. Ia tidak menetapkan hukum berdasarkan kebenaran. Ia di neraka. Yang satu lagi, Hakim yang bodoh, tidak tahu kebenaran, dan menetapkan hukum atas dasar hawa nafsu. Ia juga di neraka. (HR Abu Daud).

Semoga Allah memberikan jalan untuk kita semua. Aamiin. (*)

*Wartawan Senior