Pemilu

Oleh: Erros Djarot, Budayawan

Banyak yang berharap, Pemilu-Pileg dan Pilpres kali ini dapat memberi nilai tambah bagi kecerdasan masyarakat. Dengan bertambahnya kecerdasan masyarakat, pemilu pun akan hadir sebagai peristiwa politik yang dipahami hanya merupakan agenda nasional dalam rangka memilih para wakil rakyat, presiden dan wakil presiden. Bukan sebuah peristiwa politik yang harus diisi dengan hawa permusuhan dan pemisahan masyarakat menjadi kubu-kubu yang saling berhadapan sebagai musuh permanen.

Permusuhan yang bersifat permanen ini, mulai tertanam dan dibiarkan tumbuh subur sejak Pemilu 2014 dan berlanjut dengan Pilkada DKI 2017.

Memasuki tahun politik 2018, aroma permusuhan antara dua kubu pendukung Jokowi dan Prabowo, semakin terasa meroyan merobek persatuan dan kerukunan antara sesama warga bangsa. Dipicu lagi dengan kelakuan para elite politik dari dua kubu yang berperilaku seperti kanak-kanak yang tengah bermusuhan, saling berhadapan adu mulut dan siap mengepal tinju.

Pembiaran ini berlanjut dengan pemisahan bangsa ini menjadi dua kubu; kubu agamis dan sekuler-nasionalis. Agamis pun dipersempit lagi menjadi Islam dan non-Islam. Dalam kelompok Islam pun dipecah lagi menjadi kelompok Islam yang merasa paling benar sendiri, dan kelompok Islam yang kompromis terhadap musuh Islam (kaum Islam pro sekuler-nasionalis), maupun yang berlainan mashab. Akibatnya kerukunan antar umat beragama pun berantakan.

Di tahun-tahun sebelum dan sesudah kemerdekaan, baik semasa pemerintahan yang dikenal dengan sebutan Orde Lama maupun Orde Baru, permusuhan antar umat beragama tidak dirasakan sama sekali. Walau di penghujung pemerintahan Orba, di masa ICMI berjaya, sempat sebentar bangsa ini terbelah menjadi dua kubu poitik, Muslim dan non-Muslim. Namun kembali cair saat perjuangan menuju Reformasi digulirkan.

Yang menyedihkan justru ketika gerakan Reformasi mencapai puncaknya dan berhasil menumbangkan rezim Orde Baru, masalah Persatuan, Kebangsaan dan Kerukunan umat beragama, muncul menjadi masalah besar. Permusuhan antar umat beragama dan pemisahan antara kaum Nasionalis dan agamis (Islam), ditumbuhkembangkan tanpa kendali. Para pemimpin dan elite politik justru terlibat dalam menghidupkan permusuhan yang sangat berpotensi meluluhlantakkan persatuan dan kesatuan Indonesia sebagai bangsa yang berpandangan hidup Pancasila.

Bahkan yang sangat mengecewakan dan memprihatinkan, seorang tokoh penggerak gerakan Reformasi, malah ikut memanaskan suasana pemisahan ini dengan begitu penuh semangat. Dengan lantang mereka menyuarakan seolah kaum Nasionalis itu anti-Islam. Dan terhadap kaum Nasionalis ini dilekatkan identitasnya sebagai para pengikut ajaran Karl Marx, kiri, komunis, dan sejenisnya.

Andai saja mereka pernah membaca berbagai buku karya Bung Karno dan memahaminya, pastilah mereka tak akan sengawur itu. Karena dalam satu pernyataan Bung Karno kepada para pengikutnya (kaum Marhaenis) dengan lantang beliau mengingatkan bahwa; “Tak akan kalian memahami Marhaenisme bila kalian adalah seorang Atheis, hanya mereka yang ber-Tuhan (beragama)-lah yang bisa menghayati dan memahami apa itu Marhaenisme!

”Lewat arahan ini, di kalangan kaum Nasionalis Bung Karno mereka selalu menyatakan bahwa seorang Nasionalis (BK) pastilah ia seorang agamis; tapi dalam diri seorang agamis, belum tentu ia seorang Nasionalis. Beruntung kaum Nahdliyin sangat mengedepankan tata nilai yang terkandung dalam fatwa Hubbul Wathan Minal Iman, Cinta Tanah Air bagian dari iman. Sehingga persaudaraan antar kaum Marhaen dan kaum Nahdliyin terjalin hangat dan mesra hingga sekarang. Sekali pun pernah terjadi gesekan yang bersifat khilafiah pada saat terjadi peristiwa G30S PKI. Selanjutnya karena kesadaran akan jati diri masing-masing, hubungan yang hangat dan mesra pun begitu cepat pulih dalam semangat persaudaraan.

Yang saya yakini, para penghasut yang satu di antaranya bergelar profesor, pasti pernah membaca buku yang ditulis oleh Bapak Proklamator bangsa ini, Bung Karno. Janganlah pernah membaca dan tahu akan isinya tapi sengaja membutakan masyarakat lewat fitnah politik yang penuh muatan devide et impera, hanya demi kekuasaan sesaat. Jadikanlah arena Pemilu-Pileg dan Pilpres justru sebagai arena pencerdasan masyarakat. Agar mereka memahami bahwa musuh sesungguhnya dari bangsa ini adalah kebodohan dan keterbelakangan kita sebagai bangsa yang tidak tahu siapa musuh dan kawan kita sesungguhnya!

Musuh politik kita yang sesungguhnya bukan kaum agamis maupun kaum nasionalis, tapi kaum Zionis-Kapitalis global!

Siramilah Indonesia dengan kesejukan yang mencerdaskan! (*/watyutink)