LPSK

Kastara.id, Jakarta – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengharapkan pihak-pihak terkait lebih serius termasuk pemerintah, untuk memperjuangkan ganti rugi dari negara atau kompensasi bagi korban tindak pidana terorisme.

“Sampai saat ini belum ada kompensasi yang berhasil diberikan kepada korban terorisme. Padahal aturan soal kompensasi bagi korban terorisme sudah mulai ada sejak 15 tahun lalu,” ujar Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai di Press Room LPSK, Jakarta, Kamis (7/9).

Menurutnya, LPSK sendiri sesuai amanatnya, terus berupaya memfasilitasi permohonan kompensasi bagi korban tindak terorisme sesuai amanat yang dlberikan UU Perlindungan Saksi dan Korban. Meski begitu, upaya LPSK hampir selalu terbentur dengan pemahaman penegak hukum serta aturan pendukung lainnya. Misalnya pada kasus terorisme bom Thamrin tahun lalu.

Menurutnya, permohonan kompensasi yang difasilitasi LPSK tidak dimasukkan tim JPU ke tuntutan (requisitoir) sehingga mengakibatkan permohonan kompensasi tidak dikabulkan hakim. “Padahal kompensasi sangat bermanfaat bagi para korban, terutama untuk pemulihan kerugian ekonomi dan trauma medispslkologis yang membutuhkan biaya tidak sedikit,” kata Semendawai.

Terkait aturan, Semendawai mengungkapkan meski kompensasi sudah disebutkan dalam Perppu 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pldana Terorlsme, namun aturan turunannya seperti Peraturan Pemerintah (PP) terkait pelaksanaan kompensasi bagi korban terorisme.

Hal ini tentunya menyulitkan bagi implementasi kompensasi bagi korban terorisme, tidak hanya soal pelaksanaan, bahkan di tahap tuntutan pun kompensasi seringkall mentah. Bahkan untuk putusan yang menyebutkan adanya kompensasi bagi korban, sepertl putusan aksi terorisme bom Marriot, tetap saja pelaksanaan eksekusi kompensasi tidak bisa dilakukan karena tidak ada aturan yang menjelaskan tata cara pelaksanaannya.”lni tentu sangat memprihatinkan, karena setelah menjadi korban dari tindak pidana terorisme, para korban ini maslh kesulltan mendapatkan haknya,” ujar Semendawai.

Meski begitu, LPSK melihat sudah mulai ada perubahan paradigma di penegak hukum terkait kompensasi bagi korban terorisme. Hal ini dimulai dari adanya surat dari Jaksa Agung 16 Januari 2017 lalu kepada Kepala Kejaksaan di seluruh Indonesia bahwa dalam perkara terorisme kompensasi bisa dimasukan ke dalam tuntutan. Adanya surat ini bisa menjadi pendorong terwujudnya kompensasi bagi korban terorisme.”Terbukti pada tuntutan terdakwa terorisme bom Samarinda di PN Jaktim minggu lalu (31/8) JPU memasukan tuntutan kompensasi sebesar 1,4 miliar bagi 7 orang korban. lni merupakan langkah positif dalam memperjuangkan kompensasi bagi korban terorisme,” katanya.

Adanya surat Jaksa Agung tersebut juga menjadi dasar bagi Densus 88 Mabes Polri, yang menangani kasus bom Samarinda, untuk bekerja sama dengan LPSK dalam penghitungan besaran nilai kompensasi bagi para korban. LPSK, sesuai wewenangnya, mendukung upaya tersebut dengan melakukan penghitungan sesuai dengan kerugian dan kebutuhan korban. “Nilai yang disebut oleh JPU minggu lalu juga berdasarkan penghitungan oleh LPSK. sinegritas antar lembaga seperti ini sangat baik  pemenuhan korban, termasuk kompensasi,” ujarnya.

Semendawai mengatakan, adanya perubahan paradigma penegak hukum dalam memandang kompensasi bagi korban tentunya harus dibarengi dengan adanya aturan yang mengatur secara jelas pelaksanaan kompensasi. Baik dalam bentuk PP,  maupun  dalam bentuk UU. LPSK sendiri saat ini turut serta dalam perumusan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang baru, dimana salah satu point yang diperjuangkan LPSK adalah hak-hak korban termasuk kompensasi. “Kembali lagi, sebagai negara hukum maka penting adanya aturan yang menjadi dasar implementasi kompensasi. Karena selain sebagai hak korban kompensasi juga menjadi bentuk kehadiran negara di dalam penderitaan korban,” kata Semendawai. (nad)