Pilpres 2019

Kastara.id, Jakarta – Wakil Ketua Fraksi MPR FPPP Saifullah Tamliha meminta elit politik mampu meminimalisir isu SARA dalam pilpres 2019. Menurutnya, SARA itu bisa mengancam desintegrasi bangsa. Indonesia sebagai negara multi etnis dan agama, maka sebisa mungkin menghindari SARA tersebut.

“Memang sulit menghindari isu SARA, termasuk di Amerika Serikat. Ditambah lagi hukumannya ringan hanya 1 tahun penjara, maka aturannya perlu direvisi agar tak main-main dengan SARA,” tegas Saifullah Tamliha dalam diskusi 4 Pilar MPR bersama pengamat Ray Rangkuti di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (7/9).

Namun demikian dalam perang dagang antara AS–China saat ini, kata anggota Komisi I DPR RI itu, dalam penyelesaiannya SARA tidak berlaku dan grup-grup negara seperti G20 atau yang lain. “Semua negara menggunakan pendekatan antara pemerintah dengan pemerintah atau G to G,” ujarnya.

Karena itu Tamliha berharap elit politik bisa memenej isu SARA di tengah Indonesia yang multi etnis dan agama. Di Sumatera Utara juga masih terjadi SARA, ketika calon wagub Djarot Saiful Hidayat, Sihar Sitorus adalah non muslim, sehingga pilgubnya dimenangkan oleh Eddy Rahmayadi.

Hal itu, lanjut Tamliha, hampir terjadi di Jawa Tengah. Meski Ganjar Pranowo muslim, tapi ada upaya ke arah SARA tersebut. Beruntung, wakilnya adalah Taj Yasin, putra KH Maimun Zubair. “Kalau tidak, Ganjar bisa lewat,” jelasnya.

Seperti pilkada DKI Jakarta, yang merembet ke wilayah lain. Sehingga sekarang ini hanya di Papua, Papua Barat, NTT, Bali dan Sulawesi Tenggara yang gubernurnya non muslim. Karenanya kedua kubu capres harus mampu memenej dan meminimalisir isu SARA tersebut.

Dengan demikian, menjelang pilpres ini kedua kubu capres-cawapres harus sama-sama menghindari SARA dan mendapat perlakuan adil. Khususnya dalam cakupan wilayah kampanye. “Pemilu dan pilpres harus berlangsung adil, fair, dan demokratis,” pungkasnya.(danu)