Pembelian Senjata

Dalam momen tiga tahun pemerintahan Jokowi, sejumlah lembaga survey mencatat tingginya tingkat kepuasan terhadap kinerja pemerintah yang mencapai 68,3%. Lucunya, tingkat kepuasan tersebut, diframing sedemikian rupa sehingga tampak berpengaruh dengan tingkat elektoral Jokowi yang mencapai 38 hingga 40 persen, yang diklaim mengungguli figur yang lain.

Di tengah kemajuan teknologi saat ini, menilai sekaligus mengkritisi hasil survey, bukanlah hal yang sulit. Sah-sah saja jika ada survey mengungkapkan kesimpulan yang demikian. Namun, belum tentu kesimpulan tersebut mencerminkan kondisi sebenarnya.

Seiring perkembangan perangkat teknologi dan metode penelitian, survey opini publik menjadi lebih mudah dan praktis untuk dilakukan. Secara teknis, siapa pun kini bisa melakukannya. Mulai dari metode yang sederhana hingga yang kompleks.

Misalnya, saya baru melakukan sejumlah polling opini publik di twitter. Ketika saya tanyakan jika Pilpres hari ini, siapa yang akan dipilih, maka 56% justru memilih Prabowo Subianto, 26% memilih Joko Widodo, dan 19% menjawab memilih yang lain.

Sebelumnya saya juga membuat polling, tentang bagaimana ekonomi tiga tahun terakhir. Hanya 24% yang menyatakan maju, sementara 68% menyatakan kecewa dan semakin buruk. Dan hasil ini juga senada dengan hasil sejumlah lembaga survey, yang mengajukan pertanyaan yang sama.

Sering kita temukan, lembaga survey berupaya membangun kesimpulan hubungan antar variable yang tidak solid. Dalam penelitian ini dikenal dengan istilah spurious correlation. False presumption that two variables are correlated when in reality they are not. Survey seperti itu, alih-alih ingin menghadirkan kesimpulan objektif, justru sebenarnya sedang merekayasa kesimpulan politik.

Saya juga mencatat sejumlah survey di AS, yang banyak dilakukan oleh Gallup dan PEW Research Group. Pada 2016, kedua lembaga tersebut mengungkapkan bahwa Satisfaction has little impact on vote choice once presidential approval is taken into account. Tingkat kepuasan memilki korelasi yang lemah dengan elektabilitas.

Contoh terbaru bisa kita lihat pada fenomena pilkada Jakarta. Tingkat kepuasan terhadap Ahok mencapai 70%, namun tingkat elektabilitas Ahok hanya 42%. Sehingga mengaitkan tingkat elektabilitas semata-mata dengan tingkat kepuasan, bisa jadi false presumption.

Lebih lanjut, bagi seorang incumbent, tingkat elektabilitas di bawah 50% justru mengkhawatirkan. Artinya lebih dari 50% tidak memilihnya. Dibandingkan dengan figur incumbent di negara lain, elektabilitas Jokowi justru terbilang rendah. Putin sebagai incumbent misalnya, sejak 2014 tingkat approvalnya mencapai 87%.

Sehingga, untuk melihat siapa yang akan jadi pemenang presiden di 2019 nanti, harus berdasarkan parameter yang jelas, solid, dan logis. Publik kita kini sudah terbiasa dengan survey, dan semakin cerdas dalam memverifikasi kesimpulan yang disodorkan.

Fadli Zon
Wakil Ketua DPR RI