Kastara.ID, Jakarta — Pemerintahan Jokowi dinilai kurang serius dalam mengatasi persoalan energi. Akibatnya setiap kali ada sedikit saja gejolak masalah energi,  pemerintah kelimpungan dan rakyat pula yang menanggung beban.

“Selama 4 tahun pertama dari pemerintahan Jokowi, kita tidak melihat adanya usaha-usaha yang signifikan, bagaimana mengatasi persoalan energi ini. Padahal sebelumnya sudah ada peringatan akan adanya ancaman energi ini,” kata pemerhati masalah energi Fathor Rahman dalam diskusi Indonesia Pasca Jokowi dengan tema “Kedaulatan Energi, Apa Solusinya?” yang diselenggarakan  Sriwijaya Center, Jakarta (7/2).

Padahal, menurut Fathor, kalau ancaman itu tidak segera diatasi dengan baik, maka ancaman itu akan semakin meningkat. Yang terjadi malah pemerintah menunggu hingga 2018 di mana harga minyak mentah naik.

“Cukup mengagetkan begitu harga minyak naik pada 2018, yang terjadi malah devisit neraca migas itu kembali terjungkal ke angka 12,5 USD. Padahal harga minyak itu 30% di bawah harga tahun 2014 atau 2012, hanya 70 Dolar,” kata Fathor.

Seharusnya, lanjut Fathor, kondisi energi sebelumnya menjadi perhatian serius bagi pemerintahan Jokowi agar keluar dari persoalan. “Memang itu bukan solusinya, tapi paling tidak itu pilihan, meski bukan sebagai pilihan yang gampang,” katanya.

Maksudnya, jelas Fathor, jika pengalaman-pengalaman sebelumnya dijadikan pegangan, tentu yang terdahulu sebagai pilihan yang sulit sudah diatasi tahun 2018 ini. Misal, yang sekarang ramai banyak FGD, membahas tentang kendaraan listrik tetapi bagaimana hasil akhirnya kita belum lihat.

Sementara Pakar Energi dan Kelistrikan Ali Herman Ibrahim berharap kepada Prabowo-Sandi jika terpilih sebagai Presiden pada 2019 nanti memberi perhatian yang utama terhadap masalah energi ini dalam upaya mewujudkan kedaulatan energi.

Menurutnya, kedaulatan energi sama artinya menciptakan tersedianya energi. “Harus diciptakan tersedianya energi yang andal, cukup, dan berkelanjutan untuk pembangunan nasional dan kehidupan yang lebih layak bagi rakyat,” ungkap Ali.

Menurut Ali, kondisi ketersediaan energi saat ini separuhnya masih impor. Misalnya yang terjadi pada BBM dan LPG. Padahal, ketersediaan gas alam di Indonesia cukup banyak. Anehnya, keluhan kekurangan pasokan sering terjadi.

Kekurangan pasokan, masih menurut Ali, bukan hanya terjadi pada gas alam, juga terjadi pada pasokan listrik yang berdampak juga pada naiknya tarif listrik.

“Maka itu, energi listrik juga harus dikelola serius untuk diandalkan menjadi pendorong industri nasional, membawa sektor transportasi yang lebih efisien. Namun demikian sektor listrik harus direformasi dan direstrukturisasi lebih dulu,” tuturnya. (danu)