Penegakan Hukum

Oleh: Satria Sukananda

TAHUN 2019 adalah tahun yang sarat akan politik. Pemilihan Presiden, Wakil Presiden, serta anggota legislatif tak lama lagi akan digelar. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menentukan bahwa pesta demokrasi lima tahunan sekali ini akan digelar pada 17 April 2019.

Secara faktual kondisi yang terjadi pada tahun politik sebagai proses negara demokrasi di Indonesia ini mengalami sebuah persaingan yang sangat ketat antar dua koalisi pasangan calon presiden dan wakil presiden. Persaingan antara kedua kubu mulai terlihat memanas dan masyarakat Indonesia pun ikut terbelah dua dalam pilihan politiknya.

Saling serang melalui ‘udara’, media massa, maupun serangan ‘darat’, acap kali terjadi belakangan ini. Sebagai contoh penyebaran berita palsu (hoaks) melalui media sosial saat ini sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Hoaks pun sering kali hadir tanpa diminta di lini massa media sosial yang kita miliki.

Konten beritanya yang provokatif sering kali memantik rasa permusuhan, kebencian, perseteruan antar kelompok, serta mendiskreditkan para pihak yang dianggap sebagai lawan. Pola penyebaran hoaks melalui media sosial yang diterima masyarakat umumnya beragam jenis dan informasinya.

Hasil penelitian Mastel menunjukkan bahwa sebanyak 92.40 % berita hoaks diterima masyarakat melalui melalui media sosial seperi Faceboook, Twitter, Instagram, serta Path. Sementara sebanyak 62,80 % diterima melalui aplikasi chatting seperti Whatsapp, Line, Telegram, dan sebanyak 34.90% melalui situs web.

Sementara jika dilihat dari jenis informasinya, peringkat pertama jenis hoaks yang diterima masyarakat terdiri dari sebanyak 91.80% berupa masalah sosial dan politik, baik itu terkait pemilu ataupun pemerintah.

Kondisi ini jika dilihat dari sudut pandang negara demokrasi mencerminkan kondisi yang wajar. Sebab proses demokrasi adalah proses di mana pemerintahan dari rakyat (govern of the people), pemerintah oleh rakyat (government by the people), dan pemerintahan untuk rakyat (goverment for the people) seperti yang diutarakan Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat yang ke-16.

Proses demokrasi politik ini juga telah dilindungi secara konstitusional bahwa rakyat memiliki hak asasi manusia dengan kebebasan berpendapat yang wajib dilindungi. Namun tidak dipungkiri bahwa Indonesia adalah negara hukum sebagaimana telah diatur didalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 sebagai dasar konstitusional kita.

Konsekuensi Indonesia sebagai negara hukum adalah seluruh aktivitas politik harus berlandaskan hukum. Ibarat gerbong dan rel kereta, maka aktivitas politik adalah gerbong. Sedangkan rel adalah hukum. Penegakan hukum harus menjadi yang terdepan dalam proses demokrasi ini.

Penegakan hukum dalam konteks demokrasi sesungguhnya mempunyai dua sisi, yaitu sisi pencegahan (preventif) agar orang tidak melanggar hukum, dan sisi penindakan (represif) terhadap orang yang melanggar hukum. Aspek pencegahan menitikberatkan kepada usaha mempertahankan tertib sosial, sedangkan aspek represif menitikberatkan kepada pemulihan tertib sosial yang tertanggu akibat adanya pelanggaran hukum.

Penjelasan di atas jika dikaitkan dengan kondisi politik yang terjadi di Indonesia saat ini, penegakan hukum harus dapat menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia. Penegakan hukum juga harus menjaga keseimbangan (balance) antara hak asasi manusia, khususnya kebebasan berpendapat, kebebasan bereksperesi, dan kebebasan bersyarikat di tahun politik ini sebagaimana diatur di dalam Pasal 28E UUD 1945.

Penegak hukum, khususnya aparat peradilan, baik penyidik, penuntut umum, maupun hakim dalam menegakkan hukum, harus dapat bijak dalam menegakkan hukum dalam ranah preventif dan represif dalam tahun politik ini. Pemberian ruang bagi setiap orang pada tahun politik untuk mengekpresikan pilihan politiknya menjadi hak asasi bagi dirinya sepanjang ekpresi itu tidak hoaks dan berlebihan serta tidak melanggar hak asasi orang lain di luar kewajaran, atau menimbulkan ketidaktertiban sosial irisan antara hak asasi manusia dan hukum. Inilah yang harus dijaga.

Hukum juga tidak dapat menjadi superioritas terhadap hak asasi manusia. Selain itu, hukum juga dapat menjadi tirani yang membelenggu hak asasi manusia. Sementara hak asasi manusia akan menjadi tirani disfungsionalisasi hukum yang mendorong timbulnya ketertiban sosial di tahun politik ini. (*)

*Penulis adalah Peneliti Keluarga Alumni Komisariat Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.