Demo Ojek Online

Kastara.id, Jakarta – Pemerintah didesak untuk serius menangani permasalahan ojek online. Hal itu diungkapkan Ketua Presidium Komite Aksi Transportasi Online (KATO) Said Iqbal dalam keterangannya di Jakarta (7/5).

“Keberadaan ojek online ini ada di sekitar kita. Mereka beroperasi memanfaatkan penggunaaan aplikasi perusahaan Gojek, Grab, dan dahulu ada Uber sebelum diakuisisi oleh Grab, guna memenuhi permintaan masyarakat atau konsumen akan kebutuhan angkutan umum orang dan atau barang melalui online,” ujar Iqbal.

Menurut Presiden KSPI tersebut, beroperasinya ojek online ini membuat masyarakat merasakan sangat senang dan terbantu. Kenyataan tersebut memerlukan adanya jaminan hak konstitusional dari masyarakat pengguna dan driver ojek online.

Tidak adanya perlindungan bahkan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, lanjut Iqbal, akhirnya di lapangan sering terjadi reaksi demonstrasi penolakan dari berbagai pihak yang berkepentingan seperti para ojek konvensional dan angkot beserta perkumpulannya dan beberapa kalangan pejabat pemerintah yang terkait dengan hal ini, mereka menganggap ojek online ilegal.

“Ini sangat potensial menimbulkan adanya kerugian bagi driver ojek online berupa ancaman kehilangan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, rasa ketidakamanan, tidak adanya perlindungan dari ancaman ketakutan akan gangguan dalam mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya, serta menimbulkan keresahan bagi konsumen atau masyarakat pada saat memanfaatkan penggunaan jasa pengemudi ojek online,” jelas pria yang duduk di Pengurus Pusat (Governing Body) ILO ini.

Untuk itu Komite Aksi Transportasi Online (KATO) dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mendaftarkan uji materi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ke Mahkamah Konstitusi pada hari Senin (7/5) kemarin.

Menurut Iqbal, pasal yang akan diuji adalah Pasal 138 ayat (3) yang menyebutkan, angkutan umum orang dan atau barang hanya dilakukan dengan kendaraan bermotor umum. Pasal tersebut dinilai bertentangan dengan dengan UUD 1945, khususnya pasal Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1).

Bunyi pasal 27 ayat (2) adalah “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Pasal 28D ayat (1) berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Sedangkan Pasal 28G ayat (1) “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.

“Muatan Pasal 138 ayat (3) UU LLAJ yang menyatakan angkutan umum orang dan atau barang hanya dilakukan dengan kendaraan bermotor umum yang memberikan batasan hanya untuk mobil penumpang, mobil bus, dan mobil barang, tidak mencakup ojek on line,” katanya.

Oleh karena itu, pihaknya berharap Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 138 ayat (3) UU No 22/ 2009 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Angkutan umum orang dan atau barang dilakukan dengan Kendaraan Bermotor Umum dan atau kendaraan bermotor beroda dua milik perorangan yang digunakan untuk angkutan umum orang dan/atau barang dengan dipungut bayaran yang memanfaatkan penggunaan aplikasi berbasis teknologi informasi dengan pemesanan secara online, untuk mengakomodasi kemudahan aksesibilitas bagi masyarakat”.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal KATO Yudi mendesak Pemerintah agar serius menangani permasalahan ojek online. “Kami sudah berjuang selama empat tahun, tetapi belum sepenuhnya diperhatikan,” kata Yudi pekan lalu.

Yudi menjelaskan, uji materi ini sebagai bagian untuk menuntut masalah legalitas, regulasi, dan kemitraan. “Kami mengajukan gugatan kepada Pemerintah karena bersalah dan mengabaikan kesejahteraan para driver ojek online. KATO akan memperjuangkan kejelasan, di antaranya status kami yang belum resmi sebagai moda transportasi umum,” pungkas Yudi. (mar)