Habib BugakJemaah Aceh saat menerima dana wakaf dari nadzir Baitul Asyi, Syaikh Abdullatif Baltho, di kawasan Misfalah, Makkah, Senin (6/8).

Kastara.id, Makkah – Ikrar wakaf yang dilakukan Habib Bugak Al Asyi dua abad yang lalu, hasilnya masih bisa dinikmati oleh jemaah haji asal Aceh sampai saat ini. Berawal dari inisiatif Habib Bugak bahkan sejak dia belum berangkat ke tanah suci.

Awal mula cerita ini terjadi pada tahun 1800-an. Habib Bugak yang saat itu masih berada di Aceh, sudah memiliki gagasan untuk mengumpulkan uang, guna membeli tanah di Makkah untuk diwakafkan kepada jemaah haji.

“Selain dari dana yang dimilikinya sendiri, Habib Bugak menjadi inisiator pengumpulan dana dari masyarakat Aceh saat itu,” ujar petugas Wakaf Baitul Asyi, Jamaluddin Affan, di kawasan Misfalah, kota Makkah, Senin (6/8) saat pembagian dana wakaf kloter BTJ-01.

Pada masa lalu perjalanan haji dilakukan menggunakan kapal laut, yang memakan waktu berbulan-bulan bahkan sampai tahunan. Tak sedikit pula jemaah haji yang kemudian menetap di Arab Saudi.

“Saat itu bahkan belum ada Kerajaan Arab Saudi seperti sekarang ini. Belum ada Indonesia. Di Makkah sini masih dikuasai oleh Turki Ustmani,” kata Jamal.

Ketika Habib Bugak berangkat ke Tanah Suci, dia sudah membawa bekal dana untuk wakaf. Dan begitu sampai, niatan wakaf itu direalisasikannya. Dia membeli tanah yang lokasinya kala itu persis di samping Masjidil Haram.

Di atas tanah itu didirikan penginapan untuk menampung jemaah asal Aceh. Jemaah tak lagi bingung mencari tempat tinggal selama berada di Makkah.

“Ketika Turki pergi, pemerintahan berganti. Pemerintah kala itu kemudian melakukan penataan, perapian administrasi. Setiap tanah termasuk tanah wakaf harus ada penanggungjawabnya. Harus ada satu nama yang bertanggung jawab,” ujar Jamal.

Para tokoh yang ikut menyumbang dana untuk tanah wakaf itu kemudian bersepakat agar Habib Bugak menjadi penanggung jawab dari tanah itu. Habib Bugak sempat menolak.

“Habib Bugak sempat menolak karena dia tidak ingin ketika namanya digunakan sebagai penanggungjawab wakaf, dana tersebut akan diambil keluarganya. Habib Bugak murni ingin agar tanah wakaf itu digunakan untuk kepentingan jemaah Aceh,” kata Jamal.

Akhirnya di depan mahkamah pencatatan wakaf, dimasukkanlah syarat mengenai penggunaan tanah wakaf itu maupun hasil uang dari pengelolaannya. Habib Bugak–yang akhirnya setuju namanya dipakai sebagai penanggung jawab–dalam ikrarnya menyatakan bahwa wakaf itu hanya diperuntukkan kepada jemaah asal Aceh.

“Jadi syarat itu mengikat, hanya untuk jemaah haji asal Aceh. Baik mereka yang sudah menjadi warga negara di Saudi maupun yang statusnya mukimin,” tutur Jamal.

Lalu saat Masjidil Haram direnovasi, tanah wakaf ini termasuk digunakan untuk perluasan lintasan thawaf. Oleh nadzir (pengelola) wakaf, uang ganti rugi digunakan membeli dua bidang tanah di kawasan yang berjarak 500-an meter dari Masjidil Haram. Tanah itu dibangun hotel oleh pengusaha dengan sistem bagi hasil. Dari situlah, ‘bonus’ untuk jemaah Aceh mengalir tiap musim haji.

Seperti pada tahun ini, lebih dari Rp 20 miliar dibagikan kepada seluruh jemaah asal Aceh. (put)