Oleh: Indah Limy

LAA ilaaha illallah… laa ilaaha illallah…
Laa ilaaha illallah… laa ilaaha illallah…
Laa ilaaha illallah… muhammadur rasulullah…

Senandung tahlil terdengar lirih keluar dari mulut perempuan paruh baya itu. Tangannya yang sedikit gemetar terus menengadah, sambil terus menyenandungkan keEsaan Sang Khalik. Matanya tak beranjak menatap kerumunan ratusan bahkan ribuan orang yang berada sekitar 500 meter dari tempatnya berdiri.

Jelas tampak di raut wajahnya, keinginan untuk berada di tengah kerumunan itu. Namun apa daya… aturan di tanah Saudi ini jelas. Perempuan, tak diperkenankan masuk ke dalam area pemakaman. Maka, Nyai Heni Maryam, hanya mampu memandang ribuan pelayat yang menghantar kepergian Sang Suami KH Maimoen Zubair dari balik pagar pemakaman Ma’la, Makkah.

Sesekali, dengan ujung jilbabnya ia tampak mengusap matanya. Mungkin titik air mata tak kuasa ia tahan untuk keluar dari sepasang mata yang tersembunyi di balik kacamata hitamnya. “Duduk saja dulu Bu Nyai,” bujuk dokter perempuan yang terus mendampinginya.

Bu Nyai menggeleng lemah, sambil terus menatap areal pemakaman yang sebenarnya khusus diperuntukkan bagi masyarakat Makkah tersebut. Namun akhirnya perempuan itu pun menuruti bujukan sang dokter dan kerabat. Ia pun terduduk di kursi roda yang memang sengaja dibawa untuknya.

Saya yang berada hanya dua tiga langkah di samping Bu Nyai, begitu ia biasa disapa, cukup jelas melihat bibirnya tak henti melantunkan doa…

Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu. Allahumma la tahrimna ajrahu, wa laa taftina ba’dahu waghfirlana wa lahu…

Hari itu, Selasa (6/8), saya betul-betul kembali belajar tentang mencintai dari Bu Nyai. Sekitar dua jam sebelum prosesi pemakaman KH Maimoen Zubair dilakukan di komplek pemakaman Ma’la, saya kebetulan berada bersama Bu Nyai di Kantor Daker Makkah.

“Wong semalem masih ngobrol kok. Proses perginya almarhum cepat sekali,” kata Bu Nyai bercerita saat-saat terakhir sang suami.

Kalimat istighfar tak henti keluar dari bibirnya yang bergetar, seakan ingin menguatkan hati atas kepergian Sang Suami yang tiba-tiba.

“Bu Nyai mendampingi almarhum sejak jam 03.00 pagi tadi, waktu Kyai dibawa ke RS,” ujar dokter yang selalu berada di samping Bu Nyai.

“Jam 04.00 pagi, saat kami menunggu di luar ruang rawat almarhum, tiba-tiba hujan di Kota Makkah. Kami semua gak tahu kok ya menangis semua. Bu Nyai juga. Mbah Kyai kepundut pukul 04.17,” imbuhnya.

Jadi tak heran bila Bu Nyai pun ingin melihat di mana terakhir kali belahan hatinya terakhir disemayamkan. Maka, di sinilah kami. Berada di bawah langit Makkah, di balik pagar pemakaman Ma’la.

Waktu terus bergulir makin siang. Beberapa kerabat mulai membujuk Bu Nyai untuk beranjak dari tempatnya.

“Sudah bisa pulang bu? Istirahat yuk di apartemen?,” bujuk salah satu kerabat.

“Sebentar, saya belum lihat,” tuturnya lirih.

Bu Nyai ternyata ingin melihat pusara Kyai. Pandangannya terhalang oleh kerumunan orang yang masih memadati areal pemakaman. “Bapak-bapak tolong minggir-minggir… Bu Nyai ada di sini, Bu Nyai ingin melihat. Tolong minggir,” teriak salah seorang santri yang juga berada di luar pagar Ma’la.

Kerumunan itu pun mulai bergeser. Tak lama, tampak sebidang tanah datar dengan dua batu sebagai penanda. Di sana jasad Sang Kyai besar disemayamkan terakhir kali. Ya, kuburan di tanah Arab memang tak seperti di tanah air yang berupa gundukan disertai papan nisan.

Melihat itu airmata Bu Nyai makin menderas. Tangannya kembali menengadah, lantunan doa makin keras ia ucapkan. Allahummaghfirlahu…

Bu Nyai berulang kali memohon ampunan bagi sang kekasih hati. Ah, jika tak ada iman pada Sang Maha Cinta, bagaimana seorang istri dapat melepas suaminya tercinta.

Dari balik pagar Ma’la saya saksikan lantunan doa penuh cinta untuk Sang Kyai penebar cinta. (*)