Kastara.ID, Jakarta – Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menjelaskan substansi Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja kepada para kepala dinas yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Sosialisasi ini dilakukan untuk memberikan pemahaman isi RUU Cipta Kerja yang benar dan jelas kepada masyarakat.

“Sosialisasi ini sangat diperlukan mengingat banyak menjadi perbincangan di masyarakat, terutama terkait beredarnya isu/hoaks sehingga menimbulkan persepsi yang salah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan,” ujar Ida Fauziyah dalam acara Sosialisasi RUU Cipta Kerja, di Jakarta, Kamis (8/10).

Ida mengatakan, RUU Cipta Kerja tetap mengatur syarat-syarat dan perlindungan hak bagi pekerja/buruh Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang menjadi dasar penyusunan perjanjian kerja.

“UU Cipta Kerja ini mengatur perlindungan tambahan berupa kompensasi kepada pekerja/buruh pada saat berakhirnya PKWT,” katanya.

Ida menambahkan, RUU Cipta Kerja juga memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh yang menghadapi proses Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Artinya RUU Cipta Kerja tetap mengatur ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara PHK, serta tetap memberikan ruang bagi Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam memperjuangkan kepentingan anggotanya yang sedang mengalami proses PHK.

“Besaran pesangon diatur sehingga pekerja mendapatkan kepastian pembayaran pesangon dan mendapat tambahan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), yang mengatur agar pekerja yang terkena PHK mendapatkan manfaat lain berupa cash benefit, peningkatan kompetensi (upskilling), dan akses pada kesempatan kerja yang baru,” tutur Ida.

Ida menjelaskan, dalam RUU Cipta Kerja ini, juga tetap mengatur hak-hak dan perlindungan upah bagi pekerja/buruh sebagaimana peraturan perundang-undangan eksisting (UU Nomor 13 Tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015), dan selanjutnya akan diatur dalam PP yang baru.

Ida berpendapat, dalam UU Cipta Kerja ini juga terdapat penegasan variabel dan formula dalam penetapan upah minimum berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Selain itu, ketentuan mengenai Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) tetap dipertahankan.

“Dengan adanya kejelasan dalam konsep penetapan upah minimum dimaksud, maka RUU Cipta Kerja menghapus ketentuan mengenai penangguhan pembayaran upah minimum,” jelas Ida.

Di samping itu, lanjut Ida, dalam rangka memperkuat perlindungan upah bagi pekerja/buruh serta meningkatkan pertumbuhan sektor usaha mikro dan kecil, maka RUU Cipta Kerja mengatur ketentuan pengupahan bagi sektor usaha mikro dan kecil.

Ida menambahkan, syarat-syarat dan perlindungan hak bagi pekerja/buruh dalam kegiatan alih daya (outsourcing) masih tetap dipertahankan. Bahkan RUU Cipta Kerja ini memasukkan prinsip pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya sepanjang objek pekerjaannya masih ada. Hal ini sesuai dengan amanat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011.

“Di samping itu, dalam rangka pengawasan terhadap perusahaan alih daya, RUU Cipta Kerja juga mengatur syarat-syarat perizinan terhadap perusahaan alih daya yang terintegrasi dalam sistem Online Single Submission (OSS),” terang Ida.

Ida menyatakan, ketentuan mengenai waktu kerja dan waktu istirahat tetap diatur seperti UU eksisting (UU Nomor 13 Tahun 2003) dan menambah ketentuan baru mengenai pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat pada sektor usaha dan pekerjaan tertentu.

“Hal ini untuk mengakomodir tuntutan perlindungan pekerja/buruh pada bentuk-bentuk hubungan kerja dan sektor tertentu yang di era ekonomi digital saat ini berkembang secara dinamis,” katanya.

Selanjutnya, menurut Ida, jumlah jam kerja sama seperti UU Ketenagakerjaan. UU Cipta Kerja juga tidak menghapuskan hak cuti haid dan cuti melahirkan dan pekerja outsourcing tetap mendapatkan jaminan perlindungan upah dan kesejahteraan

“Hak pekerja juga harus tetap dilindungi apabila terjadi pergantian perusahaan outsourcing,” ujarnya.

Menyinggung isu Tenaga Kerja Asing (TKA) bebas masuk ke Indonesia, Ida menjelaskan, UU Cipta Kerja mengatur TKA yang dapat bekerja di Indonesia hanya untuk jabatan tertentu, pada waktu tertentu, dan harus punya kompetensi tertentu. “Perusahaan yang memperkerjakan TKA wajib memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA),” jelas Ida.

Ida juga menegaskan, penyusunan klaster ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja tetap memperhatikan hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas uji materi UU Nomor 13 Tahun 2003. “Ketentuan mengenai sanksi ketenagakerjaan dikembalikan kepada UU Nomor 13 Tahun 2003,” pungkas Ida. (ant)