UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh: Suwendi

BELAKANGAN, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama melakukan diskusi terkait sejumlah isu-isu inovatif untuk meningkatkan kualitas lulusan di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Salah satu yang dibahas adalah wacana penyelenggaraan program kembaran atau gelar ganda yang sering disebut juga dengan double degree.

Diskursus double degree ini sesungguhnya bukan isu baru, tetapi telah ada best-practices program yang diselenggarakan sejumlah PTKI dan perguruan tinggi lainnya. Hanya saja, program double degree ini tidak berlangsung dengan desain dan struktur tersendiri, serta tidak diselenggarakan untuk setiap tahun.

Dalam catatan penulis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di tahun 1999 telah menyelenggarakan program double degree ini. Program diselenggarakan secara kolaboratif bersama Universitas Al-Azhar Mesir dengan mendirikan Program Khusus Al-Azhar yang kemudian menjadi Fakultas Dirasah Islamiyah di tahun 2001. Kompetensi lulusan dan silabus pada program tersebut merujuk pada kompetensi dan silabus yang disepakati oleh kedua pihak sehingga lulusannya mendapatkan gelar S.SI (Sarjana Studi Islam) dari UIN Syarif Hidayatullah dan Lc (Licence) dari Universitas Al-Azhar Mesir, dengan mengikuti perkuliahan selama 1 (satu) tahun di Universitas Al-Azhar Mesir.

Demikian juga, sebelum dikeluarkannya Peraturan Menteri Agama Nomor 33 Tahun 2016 tentang Gelar Akademik Perguruan Tinggi Keagamaan, jebolan beberapa program studi pada Fakultas Syariah masih bertitel S.Sy (Sarjana Syariah) dan belum bergelar S.H (Sarjana Hukum). Saat itu, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta telah menyelenggarakan double degree, terutama untuk melahirkan dosen-dosen yang memiliki kapasitas pada program studi Ilmu Hukum yang memang mensyaratkan bergelar S.H. Hingga saat ini, eksperimen double degree ini masih berlangsung pada tahap akhir, terutama untuk menyelesaikan studi mahasiswa tingkat akhir pada program double degree tersebut.

Penyelenggaraan progran double degree ini juga telah berlangsung pada beberapa PTKI lainnya, dengan berbagai modifikasi dan upaya-upaya kreatif sehingga dapat menghasilkan lulusan-lulusan yang lebih mumpuni. Hanya saja, program ini tidak diselenggarakan secara sistematis, terstruktur, dan masif. Perlu ada penataan baik regulasi, pengorganisasian maupun penjaminan mutu yang lebih baik.

Kebijakan double degree cenderung memiliki inovasi dan kreativitas yang cukup baik. Terdapat sejumlah kelebihan dari penyelenggaraan kebijakan ini, di antaranya adalah lulusan PTKI yang memiliki penguasaan keilmuan di berbagai bidang dan interdisiplin pengetahuan, tidak hanya monodisiplin. Penguasaan di berbagai bidang ini menjadi indikator kuat akan kualitas sumberdaya manusia untuk dapat berkiprah dalam ruang-ruang publik. Kondisi masa kini dan masa datang akan menempatkan kualitas dan kapasitas sumberdaya manusia yang memiliki penguasaan di berbagai bidang sebagai kriteria utama dalam mengakses ruang publik.

Selain itu, gelar ganda yang melekat pada lulusan PTKI memungkinkannya untuk memasuki pekerjaan-pekerjaan yang lebih luas. Tidak terbatas pada satu pekerjaan tertentu saja, tetapi berbagai peluang dapat dimasukinya. Bahkan, kebijakan double degree dapat dilakukan guna memenuhi kebutuhan jumlah dosen terutama pada program-program studi di lingkungan PTKI yang memiliki persyaratan khusus, baik gelar maupun kompetensinya. Intinya, nilai tambah dari program double degree ini demikian kental.

PTKI  perlu melakukan langkah-langkah inovatif untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas, di samping melakukan aktivitas tridharma perguruan tinggi sebagaimana mestinya. Kerja-kerja yang tidak hanya ala business as usual tampaknya perlu diselenggarakan. Terlebih, khittah PTKI yang menegaskan dirinya sebagai lembaga yang di samping menghasilkan lulusan mutafaqqih fiddin, juga memiliki penguasaan di bidang keilmuan umum secara integratif.

Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2019 tentang Pendidikan Tinggi Keagamaan sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi memberikan mandatori dan kewenangan kepada Kementerian Agama untuk mengatur, menata, dan mengkoordinasikan penyelenggaraan PTKI secara otonom, tidak harus menjadi “makmum” kepada kementerian/lembaga lainnya. Otonomi ini menjadi modal penting agar inovasi kebijakan di lingkungan PTKI demikian terbuka, dengan tanpa menunggu “arahan” dari pihak kementerian/lembaga lainnya. Oleh karenanya, wacana double degree di lingkungan PTKI memungkinkan untuk diimplementasikan dengan tata kelola serta jaminan mutu yang baik.

Dalam pandangan penulis, program double degree setidaknya dapat dilakukan dengan 4 (empat) pola kolaboratif. Pertama, kolaborasi antara PTKI dengan perguran tinggi di luar negeri, baik untuk bidang keilmuan yang serumpun maupun untuk rumpun ilmu yang berbeda. Kedua, kolaborasi antara PTKI dengan Perguruan Tinggi di bawah binaan Kementerian/Lembaga selain Kementerian Agama, seperti PTU (Perguruan Tinggi Umum). Ketiga, kolaborasi antar satu PTKI dengan PTKI lainnya. Keempat, kolaborasi internal PTKI yang bersangkutan, terutama antar program studi yang memiliki rumpun yang berlainan.

Kolaborasi antara PTKI dengan Perguruan Tinggi di luar negeri dapat dilakukan secara mandiri oleh PTKI yang bersangkutan yang berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam dan/atau dijembatani secara khusus oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, terutama untuk menentukan perguruan tinggi dan program studi yang memiliki kapasitas yang baik. Bahkan, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam dapat membuat grand desain penyelenggaraan double degree dengan pihak luar negeri ini secara sistemik.

Selain itu, penyelenggaraan double degree harus dipastikan bukanlah program “asalan”, yang institusi atau program studi apapun dapat menyelenggarakannya. Diperlukan sejumlah kriteria tertentu, baik yang menyangkut institusi PTKI, program studi, maupun rumpun-rumpun keilmuan serta kompetensi dosen tertentu yang dapat dilakukan penyelenggaraan program double degree ini.

Selain itu, mahasiswa yang dapat mengikuti program double degree pun perlu diatur sedemikian rupa, agar studi pada program studi asal tidak terbengkalai. Mahasiswa yang dapat mengikuti program double degree ini telah menuntaskan sejumlah sks (satuan kredit semester) pada program studi asal, dan beberapa kriteria lainnya. Untuk itu, norma-norma dasar sebagai pijakan penjaminan mutu perlu dirumuskan secara matang.

Langkah kebijakan inovatif melalui program double degree ini tampaknya dapat dimulai dengan melakukan pemetaan, riset, dan diskusi secara matang, terutama dengan melibatkan stakeholder PTKI yang pernah menyelenggarakan program double degree ini, bahkan dengan pihak di luar PTKI. Langkah ini untuk menghasilkan informasi awal dan data-data penting untuk menentukan langkah berikutnya, sehingga dapat merumuskan sejumlah tahapan dan kebijakan yang memungkinkan. Langkah inovasi sebagai bagian dari ikhtiar meningkatkan kualitas PTKI perlu dilakukan. Dengan berinovasi, termasuk kebijakan double degree, diharapkan dapat menghantarkan PTKI yang lebih bermakna. Semoga. (*)

* Kasubdit Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Ditjen Pendidikan Islam.