Biodiesel

Oleh: Anis Nur Nadhiroh

INDONESIA abad 21 mengalami goncangan dalam percaturan perdagangan internasional. Kondisi terakhir adalah mendapat diskriminasi dari pasar Uni Eropa. UE berencana melarang Biofuel, karena perkebunan kelapa sawit dianggap merusak lingkungan. 

Namun ini berbanding terbalik, UE masih memperbolehkan minyak nabati dari hasil kebun Eropa seperti rapeseed oil (RSO), Sunflower oil (SFO), dan kedelai yang secara penggunaan lahan tidak efisien dalam menggunakan perkebunan daripada kelapa sawit. Berikut merupakan grafiknya. 

Diskriminasi Sawit

Data di atas menunjukkan minyak sawit Per-satu hektar produktifitasnya lebih tinggi yaitu bisa menghasilkan hingga 3,91 ton per satu hektar lahan, bandingkan dengan minyak Rapeseed, minyak Biji bunga matahari dan minyak kedelai.

Diskriminasi di atas yang merusak semangat perdagangan bebas. Padahal terdapat 16,2 juta orang bersandar pada perkebunan sawit di Indonesia. Satu sisi Indonesia terus bekerja keras memenuhi persyaratan ekspor, menjaga keberlanjutan lingkungan. Sisi lain UE dengan mudah memutuskan sepihak tidak lagi menggunakan beofuel. Berikut ini grafis negara tujuan eksport Crude Palm Oil (CPO):

CPO

Bagi Indonesia artinya akan menambah defisit perdagangan 5 miliar USD Amerika. Indonesia sudah tidak asing dengan upaya-upaya diskriminasi seperti ini. Jika kita ingat pada tahun 2010 lalu rokok kretek Indonesia tidak diperlakukan adil oleh Amerika dengan alasan kesehatan. Waktu itu Indonesia memenangkan gugatannya di World Trade Organisation (WTO). 

Diskriminasi Minyak Kelapa Sawit

Sejak 13 Maret lalu, UE mengadopsi Delegated X, dari bahan baku Beofuel yang digunakan di UE, kelapa sawit adalah salah satunya. Yang lainnya adalah ada Rapeseed, gula, soybean, minyak Biji Bunga Matahari, Jagung, dan lainnya. Namun, ternyata hanya Kelapa Sawit yang dikategorikan sebagai high risk untuk metode yang masuk ke dalam kategori ILUC (Inderect Land Use Change). Ini yang dianggap diskriminasi. Karena jika dilihat total diforestasi, penggunaan untuk minyak Soybean, untuk minyak Rapeseed, dan minyak matahari semua lahannya berasal dari Hutan. Namun yang terjadi kategori untuk Inderect Land Use Change untuk kelapa sawit, yang hanya satu-satunya komoditas di dunia yang dianggap High Risk.

Deforestasi yang menjadi alasan minyak sawit dilarang untuk diimpor ke Eropa. Padahal jika ditilik terdapat 30% daratan di muka bumi masih tertutupi oleh hutan. Diperkirakan deforestasi di dunia terjadi setiap tahun mencapai 12 hingga 15 juta ha hutan lenyap di muka bumi. Namun deforestasi tersebut tidak dapat dipersalahkan pada produk Indonesia saja. Realitanya laju deforestasi Indonesia mengalami penurunan jika merujuk pada angka dari 480.000 hektare menjadi 440.000 hektare per tahun sepanjang 2017 sampai 2018.

Angka deforestasi yang ada di dunia ini sebenarnya terjadi dalam jumlah 700 juta hektare untuk pertanian. Kelapa sawit di dunia ini jumlahnya tidak lebih dari 25 sampai 30 juta hektare termasuk Malaysia, Amerika Latin, dan negara-negara lainnya, hanya kelapa sawit yang dikategorikan. Sementara Soybean yang ada di dunia ada sekitar 120 juta hektare. Kemudian untuk Rapeseed 35 sampai 45 juta hektare, dan terakhir Bunga Matahari 25 juta hektare. Harusnya dari sini tidak ada alasan buat Uni Eropa untuk memasukan ke dalam kategori ILUC.

Hal ini bukan terjadi kali pertama, namun ini bagian dari renewable energy directive (RED) jadi ini bisa dikatakan sebagai jilid kedua. Jilid satunya itu sudah diterapkan atau sudah diberlakukan oleh Eropa tahun 2008-2010 di RED-nya. Pada saat RED-nya jilid satu, waktu itu dengan berbagai kriteria adalah greenhouse kemudian bahwa tetap kelapa sawit dikategorikan sebagai yang tidak memenuhi syarat.

Tetapi yang terjadi bahwa akhirnya toh kelapa sawit tetap dapat masuk ke dalam pasar Eropa. Bahkan waktu itu Eropa menerapkan sertifikasi untuk Beofuel. Jadi jangan salah sertifikasi untuk kategori Beaufiul di Eropa itu sudah ada. Namanya International Sustainability & Carbon Certification (ISCC). Indonesia bisa memenuhi itu. Buktinya sampai hari ini Indonesia bisa berjualan di Eropa dengan memenuhi syarat waktu itu.

ISCC merupakan sistem sertifikasi bertaraf internasional pertama untuk membuktikan “sustainability” dan penghemat dari efek gas rumah kaca untuk segala jenis produksi biomass (energi yang terbarukan). Dengan segala macam tuntutan, sertifikasi yang notabene urusannya adalah sustabinility bisa dipenuhin. Jadi RED jilid II ini kesannya hilang akal. Akhirnya yang paling gampang itu yasudahlah dilarang saja. Dengan kriteria yang secara scientific itu tidak berdasar sama sekali. 

Upaya Langkah Hukum

Yuri Octavian Thamrin, Dubes RI untuk Belgia, Luxemburg dan Uni Eropa, merasa menyatakan hadirnya Delegated X akan merugikan Kelapa Sawit itu sendiri. Hal ini problematic, bukan hanya orang Indonesia saja, tetapi beberapa Parlementarian Eropa itu secara jujur menyampaikan assegment bahwa delegated X ini problematic. Delegated X adalah doble standart, karena Soybean itu footprint-nya lebih buruk daripada sawit. Semula dikategorikan sebagai high risk. Tapi kemudian entah karena apa dijadikan resiko deforestasi rendah. Ini merupakan indikasi kesediaan Eropa untuk menampung Soybean dari Amerika, inilah yang dinamakan doube standart.

Green fuel sebenarnya secara tehnologi baik yang di Eropa maupun yang di Singapura itu mereka menggunakan greenfuel yang 100% bahan bakunya yang dari renewable energy. Baik yang west energy maupun yang menggunakan kelapa sawit atau minyak-minyak lainnya. Sehingga tehnologi sudah tersedia. Bahkan di Eropa menggunakan hydrocarbon istilahnya yang greenfeuel itu untuk konsumsi renewable energy mereka. Jadi sebenarnya Eropa itu sebagai konsumen untuk beofuel kita, karena mereka sudah membangun instalasi-instalasi 100% untuk renewable energy. Jadi untuk pasar kelapa sawit saat ini mengenai minyak pencampur beofuel itu sudah sangat luas sekali. Kita yakin betul bahwa berapapun pertumbuhan produksi minyak nabati kita itu pasti dibutuhkan di dunia.

Minyak Sawit

Terkesan lucu, karena angka ekspor kita meningkat, yakni tahun 2017 itu secara volume ada 1,7 juta ton. Tahun 2018 terdapat 5,4 juta ton. Jadi dibilang dilarang kok ekspornya meningkat. Kalau dari sisi dollarnya memang menurun, dari 3,6 juta miliar di 2017, namun di 2018 ada 3,3 miliar USD. Tapi secara volume itu naik. Ini kan harus didalami lagi. Apa sebenarnya faktornya walaupun ada pelarangan di depannya kok faktanya malah naik volumenya. 

Kalau di WTO itu kan memegang prinsip no proverty, mengurangi kemiskinan. Nah kelapa sawit ini pilarnya nomor 1 di sustainable development yang dia mendorong pengurangan kemiskinan di negara-negara produsen. Kalau di SDGs itu ada 17 pilar. Yang mereka ungkapkan itu hanya satu pilar. Yakni lingkungan, deforestasi. Sedangkan 16 pilarnya yang lain sebenarnya adalah untuk negara kita khususnya. (*)

* Mahasiswa Magister Ilmu Hukum di Universitas Islam Indonesia.