Cawapres

Oleh: Erros Djarot (Budayawan)

Menyaksikan kisruh penentuan cawapres tidak perlu heran. Silahkan prihatin dan harus. Kok bisa kacau begini? Bagi yang terbiasa menggunakan logika akal sehat, kisruh dalam menentukan cawapres, sudah terbayangkan bakal dan pasti terjadi. Memang tragis dan menyedihkan. Sebutan dari perhelatan akbarnya itu sendiri berlabel pilpres, pemilihan presiden. Tapi usreg dan kisruhnya malah seputar cawapres.

‘Sadis’nya, 260 juta rakyat Indonesia dipenjara dalam satu kotak gelap yang hanya mampu menyodorkan dua nama calon presiden. Oleh siapa? Bukan siapa-siapa tapi oleh ketentuan Undang-Undang (Presidential threshold 20 persen). Buatan siapa? Ya buatan para pemimpin di lembaga legislatif bersama pemimpin di jajaran eksekutif. Hasilnya? Memenjarakan rakyat dan mereka sendiri dalam ruang yang miskin pilihan. Jadi, mengapa kita harus heran?

Ketika kemudian kisruh penentuan cawapres di kubu Gerindra dan Demokrat (korban politik konstitusi), bukankah hal ini merupakan konsekuensi berdemokrasi ria ala liberal-kapitalistik? Lahir terminologi politik baru: Jenderal Kardus dan Jenderal Baper! Disusul dengan munculnya isu (karena belum terbukti) ada uang pelicin sebesar Rp1 triliun. Andi Arief Wasekjen Partai Demokrat menuduh Sandiaga Uno yang berhasil merebut hati Prabowo yang menunjuknya menjadi sang pendamping (cawapres), telah menggelontorkan uang Rp1 trliun untuk mendapat dukungan dari PKS dan PAN.

Bila toh itu terjadi mengapa harus heran? Sistem yang diberlakukan dan yang menjadi pilihan bangsa ini memang memnyediakan peluang yang lebar untuk terjadinya praktik jual beli kursi dalam setiap perhelatan pemilu, pilkada maupun pileg-pilpres. Setidaknya Andi Arief mengembangkan asumsi yang sederhana bahwa tidak ada makan siang yang gratis dalam politik.
Ia berpikir secara wajar; mana mungkin PAN dan PKS yang juga punya jagoan calon, membiarkan Sandiaga Uno yang kader Gerindra berpasangan dengan Prabowo yang juga Ketua Umum Gerindra. Dengan pasangan Gerindra-Gerindra ini, menjadi wajarlah bila Andi menyemburkan suara berbisa (tuduhan serius) ke arah Prabowo dan yang tentunya bisa berbalik ke arah dirinya sendiri. Yah, yang namanya bisa pasti mematikanlah!

Semburan suara berbisa Andi Arif ini, bisa saja dipadamkan (dinetralisir) bila Prabowo melanjutkan pertemuan dengan SBY. Tentunya SBY sudah harus siap legowo untuk menaruh kembali nama AHY di dompet politik pribadinya, dan melakukan kesepakatan yang lebih jauh (baca: 2024, AHY for President). Sehingga perundingan untuk menentukan cawapres bersama untuk Pilpres 2019, sudah tidak lagi terbebani hasrat besar mendorong sang putra tercinta menjadi calon wakil Presiden. Tanpa  menggugurkan ambisi dan niat ini, memang percuma bertemu Prabowo!

Mudah-mudahan hal yang memprihatinkan ini tidak terjadi di kubu partai-partai pendukung Jokowi for President. Walau sampai detik-detik Jokowi mendaftarkan diri dan pasangannya ke loket KPU, semua hal masih bisa terjadi. Golkar dan PKB yang menempati posisi sangat strategis dalam memberi tambahan bobot politik Jokowi sebagai calon presiden, sampai tulisan ini diturunkan agaknya belum juga mencapai kata YES and OK yang melegakan semua pihak, baik Jokowi maupun para pimpinan partai.

Bila Golkar, terutama PKB, tidak merasa terakomodasi target politiknya, sangat berpotensi untuk pisah ranjang atau sekaligus cerai talak tiga. Bila hal ini terjadi, maka pintu untuk menghadirkan poros ketiga sebagai alternatif, menjadi kembali terbuka. Gejalanya sudah mengemuka dengan dimunculkannya kembali nama Gatot Nurmantyo dalam bursa Pilpres 2019. Walau kemungkinannya sangat tipis, tapi yang namanya kemungkinan setipis apa pun, bisa saja menjadi kenyataan dalam dunia politik yang anomalis seperti sekarang ini.

Yang justru menarik diperhatikan nasib Demokrat dan Gerindra sebagai partai. Karena nasib mereka sangat ditentukan oleh PKS; ke arah mana PKS berlabuh? Mengingat dalam suatu pertemuan khusus pasca Pilkada DKI, AHY konon pernah menyatakan kapok dengan partai-partai yang hanya pandai memberi dukungan angin surga, bila hal ini sampai juga ke telinga para petinggi PKS, agaknya bersandar ke Gerindra sudah menjadi pilihan harga diri.

Bila demikian yang terjadi, maka Demokrat terancam menjadi partai yang akan berjalan di padang pasir politik Indonesia bak seorang musyafir. Alias sepi dan kesepian! Sebaliknya bila pada detik-detik terakhir PKS hengkang dari Gerindra, hal serupa dan lebih menyakitkan akan menjadi beban sejarah buruk bagi Gerindra.

Semoga semua mimpi buruk bangsa ini, tidak terjadi. Nah, agar tidak memburuk sepanjang waktu, kembalilah ke jalan yang benar. Jalannya UUD 1945, bukan UUD 2002…

Amin! (*)