Mbah Moen
Oleh: Al-Zastrouw

BARU saja bangsa Indonesia berduka atas wafatnya KH Maimoen Zubair (Mbah Moen), seorang ulama alim dan kharismatik yang menjadi panutan dan rujukan umat Islam Indonesia. Kepergian Mbah Moen menjadi tonggak dicabutnya ilmu agama.

Sebagaimana dinyatakan Nabi dalam salah satu haditsnya bahwa wafatnya seorang ulama merupakan isyarat dicabutnya ilmu agama dari dunia; “Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menggangkat ilmu dengan sekali cabutan dari para hamba-Nya, akan tetapi Allah mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika tidak tersisa lagi seorang ulama pun, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu. mereka sesat dan menyesatkan”.

Ketika seorang ulama wafat maka seluruh ilmu yang dimilikinya akan dibawa, hilang beserta raganya. Memang ada dokumen tulis maupun rekaman video yang ditinggalkan. Namun dokumen seperti itu tidak bisa dijadikan sebagai guru. Para ulama (khususnya ulama salaf) melarang belajar tanpa guru, hanya merujuk pada teks. Karena belajar hanya pada teks, tanpa guru akan cenderung terjadi penafsiran sesuai kemauan pembaca, tanpa ada klarifikasi dan konfirmasi dari si penulis teks maupun orang-orang yang memahami teks karya ulama tersebut. Hingga akhirnya muncul orang-orang bodoh yang jadi hanya dengan merujuk teks maupun video yang ditafsiri semaunya sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas. Di sinilah pentingnya peran ulama sebagai penjaga ilmu, sehingga kepergiannya dianggap sebagai pencabutan ilmu agama dari dunia.

Untuk menjaga agar ilmu agama tidak tercabut dari dunia bersamaan dengan meninggalnya para ulama, maka umat Islam perlu merawat jejak dengan menjaga dan memelihara pemikiran para ulama. Hal ini bisa dilakukan dengan mengkaji pemikiran ulama yang meninggal dengan berguru langsung pada ulama lain yang masih hidup dan pernah berguru langsung pada ulama yang meninggal sehingga tercipta sanad keilmuan yang nyambung dan jelas. Dengan cara ini otoritas dan kualitas keilmuan ulama akan terjaga, bukan sekadar ulama karbitan yang hanya berguru pada google dan youtube kemudian menafsirkan sesuai kemauannya sendiri.

Salah satu pemikiran keagamaan penting yang terbawa bersama kepergian Mbah Moen adalah soal hubungan antara agama, negara dan faham kebangsaan. Mbah Moen adalah ulama yang tidak mempertentangkan antara agama (Islam), negara (NKRI) dan Nasionalisme. Bagi mbah Moen NKRI adalah tempat untuk mengamalkan ajaran/syariat Islam, oleh karenanya nasionalisme (semangat membela NKRI) merupakan bagian dari sarana untuk mengamalkan syariah Islam.

Bagi Mbah Moen, khilafah yang diperjuangkan oleh HTI hanya merupakan salah satu bentuk sistem politik Islam, bukan ajaran Islam. Sebagai sistem politik khilafah sangat terikat oleh ruang dan waktu. Artinya dia hanya cocok dalam situasi dan zaman tertentu. Inilah yang menyebabkan Mbah Moen sering bilang bahwa jaman saiki khilafah wis ora usum (sekarang ini bukan musimnya khilafah).

Sebagai ulama yang sangat hafal dan memahami sejarah Islam secara mendalam, Mbah Moen tahu betul bagaimana dampak  penerapan sistem politik khilafah Islam bagi umat Islam dan agama Islam sendiri. Pemahaman sejarah inilah yang mendasari Mbah Moen menolak penerapan khilafah Islam sebagai sistem politik sebagaimana yang diperjuangkan HTI dan kelompok yang sefaham dengannya. Dan menolak khilafah Islam dalam pengertian sistem politik bukan berarti menolak Islam dengan segenap ajarannya.

Ini berbeda dengan khilafah sebagai spirit dan nilai ajaran Islam. Pengertian khilafah seperti ini harus diterima dan diperjuangkan oleh umat Islam. Dan menolaknya berarti menolak ajaran Islam. Khilafah sebagai suatu nilai, norma ajaran  bisa diterapkan dalam sistem politik dan bentuk negara apapun. Inilah yang mendasari pemikiran Mbah Moen menerima NKRI sebagai bentuk negara dan Pancasila sebagai dasarnya. Karena dianggap bisa menampung dan sudah mencerminkan spirit dan nilai-nilai khilafah Islam.

Gagasan Mbah Moen mengenai kebangsaan dan agama serta komitmen beliau terhadap NKRI dan Pancasila merupakan bentuk perjuangan meneruskan dan merawat pemikiran dan hasil ijtihad para ulama terdahulu khususnya generasi Mbah Hasyim Asy’ari, Mbah Wahab dan sebagainya.

Pemikiran Mbah Moen mengenai kebangsaan, NKRI, Pancasila dan Islam serta konsistensi sikap beliau mempertahankan NKRI dan Pancasila merupakan sumbangan yang besar bagi bangsa ini. Oleh karenanya menjadi kewajiban bagi kita semua untuk terus merawat dan menjaganya, sebagaimana Mbah Moen telah menjaga warisan tersebut dari para ulama pendahulunya. (*)

*Dosen Pasca Sarjana Unusia, Penggiat seni tradisi dan budaya Nusantara