Monumen Simpang Lima Gumul

Kastara.id, Kediri – Seperti daerah lain, Kediri juga memiliki Monumen kebanggan, yakni Monumen Simpang Lima Gumul (SLG). Bentuknya begitu menarik karena menyerupai Arc de Triomphe yang terletak di Paris, Prancis.

Dalam keterangan resmi Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Kediri, tercatat Monumen Lima Gumul ini dibangun dengan inspirasi dari Raja Jongko Joyoboyo. Beliau adalah seorang raja yang berkuasa di abad 12 yang bercita-cita untuk menyatukan lima wilayah di kabupaten Kediri, yakni  Kota Kediri, Pesantren, Pagu, Gurah, dan Kampung Inggris (Pare).

Kawasan SLG memiliki luas tanah hingga 37 hektar dengan luas bangunan 804 meter persegi dan tingginya mencapai 25 meter, ditumpu tiga tangga setinggi 3 meter dari lantai dasar. Wisatawan yang ingin mengunjungi lokasi ini tidak perlu membayar tiket masuk, hanya perlu membayar ongkos parkir saja. Tiket masuk Simpang Lima Gumul adalah gratis. Cukup membayar parkir motor senilai Rp 2 ribu dan mobil Rp 5 ribu. Di sudut-sudut monumen, juga bisa melihat patung Ganesha.

Kawasan SLG memiliki ruang-ruang pertemuan di gedung utama dan ruang auditorium dengan atap kubah. Wisaatawan juga bisa melihat diorama pada bagian dalam gedung. Di bagian bawah tanah, ada  akses yang berbentuk lorong yang menghubungkan tempat parkir ke basement monumen. Lokasi ini banyak diguinakan oleh wisatawan yang ingin berfoto.

Sementara Desa Pare yang terletak di Kediri begitu terkenal dengan sebutan Kampung Inggris. Konon, di lokasi ini pernah ada seorang pendatang yang mengajarkan Bahasa Inggris secara cuma-cuma, lantas, si murid tersebut dapat menguasai bahasa Inggris dengan cepat dan hasil memuaskan. Dari situlah cikal bakal terbentuk Kampung Inggris. Hingga kini, ada ratusan lembaga kursus yang menyediakan jasa pengajaran Bahasa Inggris. Wajah Desa Pare pun berubah, dari desa yang mata perncaharian utama warganya buruh menjadi penyedia berbagai jasa kursus seperti yang banyak dikenal masyarakat.

Selain memberikan jasa kursus bahasa, warga sekitar juga memanfaatkan antusiasme masyarakat untuk belajar Bahasa Inggris di sana dengan menyediakan fasilitas penginapan dan transportasi murah. Untuk penginapan, para siswa dapat memilih paket kursus yang memiliki camp maupun tidak. Jika siswa memilih paket kursus yang dilengkapi fasilitas camp, ada program tambahan dimana mereka diharuskan untuk menggunakan Bahasa Inggris sepanjang hari. Untuk itu, akan ada tutor atau pengawas yang mengawasi, jika ada kesalahan, maka siswa akan diberikan hukuman.

“Itulah metode pengajaran kami. Dengan begitu, biasanya siswa akan terpacu untuk terus belajar,” kata Indah, seorang pengelola lembaga kursus di Kampung Inggris.

Mengenai lama sebuah program kursus, dijelaskan bahwa penyedia jasa lembaga kurus dapat menyesuaikan paket belajar yang diberikan dengan kebutuhan pengguna jasa. Tidak jarang, ada sekolah yang menggunakan jasa mereka secara khusus untuk program khusus. Misalnya, pernah ada sekolah yang meminta agar siswanya diberikan pelajaran Bahasa Inggris secara intensif selama dua hingga enam hari.

Pernah juga ada sekolah yang secara khusus meminta agar siswanya diberikan pelatihan Bahasa Inggris yang berkaitan dengan dunia penerbangan.

Potensi wisata Kediri yang begitu besar ini bisa menjadi modal bagi Pemerintah Daerah setempat, stakeholder, dan masyarakat setempat untuk menjadikannya sebagai pilihan daerah tujuan wisata. Dengan semakin banyaknya wisatawan yang berkunjung, diharapkan, pergerakan ekonomi masyarakat setempat juga meningkat. (mar)