Agama

Oleh: Mohammad Sabri

TITAH, isyarat, ataupun hukum yang dikalamkan Tuhan dari “langit,” sejatinya punya dimensi profan. Di sana —di setiap napas nubuat kudus— ada jejak tegas yang tersisa: bahwa Yang Abadi sekekalnya, saling membelah dengan “bumi” yang guyah. Dan, kebenaran selalu hadir dalam bentang sejarah yang aneka, di tangan agung seorang utusan yang cemerlang, tapi unik. Cahaya dan gelap acapkali saling bertukar tangkap dengan semesta-kode langit yang tak tunai dalam kalam. Sejak itu, agama menemukan sangkarnya di bumi.

Jejak agama-agama, sebab itu, bukan sepenuhnya petanda langit, tapi juga geliat peristiwa bumi. Dalam The Transcendent Unity of Religions (1975), filsuf-teosof Fritjhof Schuon mengenalkan philosophia perennis —sebentuk kearifan abadiyang mengandaikan kaitan seluruh eksistensi yang ada dengan Realitas Mutlak. Wujud kearifan itu disebut “Tradition” yang hanya dapat diraih melalui Intellectus —anggitan yang dipopulerkan Plotinus di Abad 3Msebagai ungkapan lain dari soul atau spirit. Manifestasi “Tradition” yang diyakini kaum parennial sebagai bermuasal dari Tuhan, memiliki paras yang jamak dalam sejarah: agama-agam, filsafat, kearifan, seni, tradisi, ritus, simbol, doktrin, dan seterusnya.

Sejatinya, dasar-dasar teoretis philosophia perennis tentang “Tradition” terdapat dalam jantung setiap agama dan tradisi autentik: tradisi Buddha menyebutnya dharma, Taoisme (tao), Hinduisme (sanathana), Islam (al-dîn), Patuntung (lalang), dan sebaginya. Dengan cara —yang dalam philosophia perennis diandaikan sebagai “transenden” itu— semua ritus, doktrin dan simbol keagamaan terpaut dalam sebuah scientia sacra (“pengetahuan-suci”) yang melampaui bentuk-bentuk formal agama.

Dari sebilah pualam sejarah yang dingin, mekar kesaksian bahwa Indonesia adalah bangsa yang pelbagai dan penuh warna: Gugus kepulauan yang terbentang luas di hamparan maritim laksana mutiara manikam yang eksotik; semesta tradisi dan cakrawal etnik yang jamak; hingga galaksi agama dan kepercayaan-keyakinan tumbuh bersama dan memintal harmoni oase peradaban Nusantara Klasik. Perjumpaan agama-agama “mainstream” —yang biasanya menjadi agama kerajaan lokal— dengan agama minoritas, tidak tersandera dalam pola relasi “resmi-tak resmi”, tapi saling menjaga dan menghormati satu sama lain.

Ironisnya, ketegangan mengerkah justeru ketika negara Indonesia modern tumbuh dengan birokrasi pemerintahan yang relatif mapan. Hingga detik ini, negara hanya mengandaikan enam agama “resmi” —Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dan Khonghucu— selebihnya tak diakui.

Sementara itu, religi-religi lokal nusantara —yang jumlahnya tak kurang dari 300— tersebar di pelosok tanah air di antaranya Parmalim (Batak), Patuntung (Bulukumba), Alu’tudolo (Tana Toraja), Binanga Benteng (Selayar), Tolotang (Sidrap), Wiwitan (Sunda), Kaharingan (Dayak), Tengger (Jawa), Bissu (Pangkep), dan seterusnya. Secara otonom religi-religi lokal itu —yang tumbuh mekar dan bukan derivasi dari agama mainstream tertentu— lantas dipaksa masuk ke dalam gugus “induk” agama resmi atau memilih satu kerapatan “kepercayaan” di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang jejaknya bermula di masa rezim politik Orde Baru.  Di sini tampak jika negara, tak cukup memiliki insight dalam memahami kepelbagaian agama-agama historis-endomis itu, yang kehadirannya jauh sebelum lahirnya negara Indonesia modern.

Perjumpaan agama dan etnik di Indonesia, belakangan menjelmakan dirinya dalam sebuah “identitas” sosial baru: Aceh-Muslim, Minangkabau-Islam, Flores-Katolik, Bali-Hindu, Bugis-Makassar Islam, Banjar-Islam, Ternate-Islam, Ambon-Katolik, Toraja-Protestan, Sunda-Islam, Papua-Katolik, dan seterusnya. Di sini, ketika negara tidak sungguh-sungguh mengelola kepelbagaian itu secara apik —ketegangan pribadi dan etnik— bisa menjadi pemantik meletupnya konflik “atas nama” agama yang liar dan berdarah.

Ketegangan bisa berlanjut dalam wacana lebih luas: “agama-resmi” versus “agama tak-resmi”. Dalam nalar negara, penganut agama-resmi secara konstitusional-normatif akan mendapatkan hak-hak “istimewa” sebagai warga negara. Sebaliknya, keunikan di balik keanekaan penganut agama-agama tak-resmi justeru tertampik dari kewajiban dan ruang negara: hasrat menjalankan ritual-religi secara otonom, membangun rumah ibadah sendiri, menikah, membeli properti, dan relasi sosial, bisa terancam jatuh ke dalam jebakan “kriminalitas” yang berujung pada masalah hukum. Status “agama tak-resmi,” sebab itu, akan menjadi masalah kompleks: sosial, budaya, politik, hukum, dan ekonomi yang menjadi beban bagi penganutnya sejak lahir hingga kematiannya.

Di titik ini, negara-bangsa Indonesia patut mempertimbangkan perspektif philosophia perennis, yang mengandaikan the heart of religions: “Di dalam jantung setiap agama dan tradisi autentik di tanah air punya misi dan pesan kebenaran yang sama.” Hal ini menjadi mungkin karena sila ke-1 Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai “pengikat” etis-spiritualitasnya. Jika ini menjadi tumpuan kesadaran kolektif —maka Indonesia sebagai bangsa aneka— bisa menjadi rumah besar bersama yang harmoni, indah, dan damai, dalam ikatan-ikatan keadaban. (*)

* Direktur Pengkajian Materi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).