Catatan: Gantyo Koespradono

MESKIPUN tujuh parpol sudah membentuk Koalisi Persaudaraan, siapa tokoh yang akan diusung sebagai calon gubernur DKI Jakarta, sampai sekarang belum ketemu. Sosok yang diincar tetap Tri Rismaharini.

Risma-lah yang digadang-gadang dan diperkirakan bakal mampu meruntuhkan dominasi Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), petahana yang sampai pendaftaran cagub September nanti tampaknya hanya akan diusung oleh Partai NasDem, Hanura, dan Golkar.

Hitung-hitungan di atas kertas, berdasarkan komposisi kursi di DPRD DKI Jakarta, dukungan terhadap Ahok memang tidak sebanding dengan koalisi gemuk yang mayoritas sahamnya dikuasai PDIP (28 kursi).

Total kursi NasDem, Hanura dan Golkar di DPRD DKI hanya 24, sedangkan di pihak seberang ada 84 kursi. Secara matematika dan logika, cagub yang nantinya diusung Koalisi Kekeluargaan (siapa pun dia – bahkan kambing dibedaki) pasti bakal menang melawan Ahok.

Oleh sebab itu banyak orang akhirnya memaklumi mengapa Masinton Pasaribu, kader PDIP di DPR tempo hari mewacanakan kambing bedakan dalam pilgub. Ia sangat yakin, cagub – sekali lagi seokor kambing sekalipun – yang diusung untuk melawan Ahok, pasti menang.

Sebagai pengganti kambing, PDIP dengan koalisi tambunnya sampai saat ini mengincar sejumlah tokoh. Stok cagub yang saat ini ada di “gudang” mereka adalah Tri Rismaharini, Djarot Saiful Hidayat, Syafrie Sjamsuddin, Yusril Ihza Mahendra, Sandiaga Uno, Adhyaksa Dault, dan eh siapa tahu Bambang DH.

Karena yakin pasti menang dan bisa membungkam Ahok, dari stok calon gubernur di atas, Koalisi Kekeluargaan menempatkan Risma sebagai nominasi teratas. Sayang memang Risma sampai saat ini masih licin ogah memutuskan secara prematur kepemimpinannya di Surabaya yang sudah berusia enam bulan. Boleh jadi dia akan mengalami “pendarahan akut” saat hijrah ke Jakarta.

Sang Bunda Megawati sebenarnya sangat paham dengan kemungkinan-kemungkinan seperti itu: para lelaki yang ada di koalisi gemuk bisa saja main sodok nggak pakai aturan. Mereka berkepentingan Ahok terkapar.

Bunda rupanya tak peduli dengan risiko seperti itu. Mengapa ia dan PDIP-nya memaksa Risma ke Jakarta bertarung melawan Ahok?

Dugaan kuat, itu dilakukan untuk mengantisipasi pemilu presiden 2019 yang kemungkinan Joko Widodo akan meninggalkan PDIP, karena sudah terlanjur kepincut dengan Partai Golkar. Katakanlah jika memang faktanya nanti seperti itu, PDIP dalam pilpres nanti akan mengusung Risma.

Strategi itu diambil PDIP (Megawati) sebagai pesan terselubung kepada Jokowi agar ia tetap tunduk kepada kemauan Bunda. Belakangan Jokowi memang sudah “pede banget” sebagai presiden. Ia punya pendirian dalam bersikap dan sadar betul bahwa ia memiliki hak prerogratif yang tidak dimiliki siapa pun, termasuk ketua umum partai.

Intinya pesan kepada Jokowi adalah seperti ini: “Hai Jokowi, kamu jangan macam-macam. Ikutilah apa yang kumau. Kamu mau jadi presiden lagi, kan? Oke, aku tidak melarang. Jika kamu bandel tidak menuruti perintahku, ya silakan saja kalau kamu bergabung ke partai lain. Aku punya lawan tangguh yang akan mengikuti jalanmu, Risma.”

Tapi, ngomong-ngomong Risma jadi nggak sih ke Jakarta dan diusung Koalisi Kekeluargaan? Makin seru, nih.