Korupsi

Kastara.ID, Jakarta – Aksi pencegahan tindak pidana korupsi tetap lebih baik daripada aksi penindakan yang selama ini dilakukan para penegak hukum. Secara sosiologis dan budaya, pencegahan lebih efekttif daripada mengedepankan penindakan.

Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan menyerukan hal itu saat dimintai komentarnya lewat pesan singkat menyambut hari antikorupsi. “Pencegahan korupsi tidak saja untuk meningkatkan kredibilitas bangsa dan negara, tetapi juga untuk meningkatkan kinerja perusahaan dan ekonomi nasional. Melihat aspek sosiologis dan budaya dalam melakukan pemberantasan korupsi, akan lebih baik mengedepankan pencegahan ketimbang penindakan,” katanya, Senin (10/12).

Menurut Heri, dari perspektif hukum dan sosial, bila ada indikasi korupsi yang dilakukan siapa pun lebih baik diingatkan agar sadar. Namun bila sudah diingatkan masih terus melakukan korupsi, barulah jadi sasaran penindakan.

Data The World Economic Forum yang merilis peringkat negara yang melakukan korupsi pada 2018, menempatkan Indonesia pada skor indeks 37. Transparansi Internasional pada 2017 juga menempatkan Indonesia dengan skor 37, sama seperti pada 2016.

Politisi dari dapil Jabar IV ini kemudian membuka data operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK. Pada 2018 ini sudah ada 37 OTT. Namun, fakta berbicara lain bahwa indeks persepsi korupsi Indonesia stagnan, tetap berada di angka 37.

Ternyata OTT yang masif tak mengubah persepsi. “Dari sini kita bisa melihat kinerja pemerintah dalam pemberantasan korupsi masih jalan di tempat, bahkan tertinggal,” pandangnya.

Asian Corporate Governance Association, lanjut Heri, mengeluarkan rating Corporate Governance (CG) di Asia-Pasifik. CG Indonesia memburuk dan berada di rangking terbawah dari 12 negara yang disurvei. Indonesia dinilai lemah pada skor government & public governance, regulators, reform, enforcement, dan investors. “Pemerintah tidak berhasil mendorong perbaikan CG di Indonesia. Problem utamanya justru ada di pemerintah sendiri,” tutur Heri.

Maraknya korupsi di pemerintahan memperlihatkan minimnya pembenahan pemberantasan korupsi. Hampir semua kementerian dan lembaga terlibat korupsi. Sebut saja korupsi di Direktorat Pajak, kejaksaan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Desa, dan Kementerian Agama. Korupsi juga terjadi pada proyek-proyek infrastruktur yang sedang dijalankan pemerintah.

Berdasarkan catatan ICW, pada tahun 2017 ada 241 kasus korupsi dan suap terkait pengadaan sektor infrastruktur. Potensi pelanggaran pun akan semakin besar. Apalagi jika proyek infrastruktur dipaksakan untuk selesai 2019.

Momentum hari antikorupsi yang jatuh pada 9 Desember lalu, jadi refleksi untuk saling menguatkan kolaborasi dan sinergi kementerian, lembaga, dan semua pemangku kepentingan untuk melakukan reformasi birokrasi secara tuntas. Plus perlu ada perbaikan tata kelola sistem peradilan secara terpadu dan integritas para penegakan hukum. (rya)