Satgas Anti Politik Uang

Kastara.id, Jakarta – Indonesia Police Watch (IPW) memberi apresiasi dan mendukung penuh gagasan Kapolri Tito Karnavian yang membentuk Satgas Anti Politik Uang di Pilkada 2018. Menurut Ketua Presidium IPW Neta S Pane, selama ini isu politik uang di pilkada selalu terbiarkan, baik oleh KPK, kejaksaan, maupun Polri sendiri. Akibatnya pasca pilkada banyak kepala daerah yang tertangkap dalam kasus korupsi karena mereka harus mengembalikan politik uang yang dikeluarkan saat pilkada.

“Satgas Anti Politik Uang ini sebuah terobosan dari Tito Karnavian untuk mewujudkan pilkada yang bersih dan terciptanya demokrasi yang berkualitas,” kata Neta dalam keterangannya, Kamis (11/1).

IPW berharap keberadaan satgas ini berkelanjutan karena keberadaannya bagian dari tugas kepolisian seperti yang diamanatkan Tri Barata, yakni polisi sebagai penjaga moral masyarakat.

Neta menjelaskan, sejak Kamis 11 Januari ini satgas sudah bisa bekerja maksimal. Seharusnya satgas sudah bekerja saat partai partai mengincar para bakal calon agar bisa terdeteksi kebenaran isu uang mahar dari para calon untuk partai politik di Pilkada 2018 ini. “Bagaimana pun uang mahar adalah bagian dari politik uang,” ujar dia.

Untuk melancarkan kinerja Satgas Anti Politik Uang, Neta berharap, Polri harus menggerakkan semua jaringannya, terutama untuk mencari informasi keberadaan politik uang di berbagai daerah. Intelijen, polsek dan polres harus menjadi ujung tombak untuk mendeteksi dugaan politik uang di pilkada.

Menurut dia, wewenang Polri untuk memburu politik uang ini sangat luas. “Berbeda dengan KPK yang cakupannya hanya sebatas politik uang di kalangan penyelenggara negara. Bahkan para pelaku politik uang bisa dijerat Polri dengan pasal berlapis, mulai dari UU Tipikor, UU Pemilu, UU Parpol hingga KUHP,” terang Neta.

Neta menyebut, dasar hukum penindakan politik uang itu tercantum dalam Pasal 73 ayat (3) dan 187A sampai 187D UU No 10 Tahun 2016 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota.

“Pasal 73 ayat 1 UU itu menegaskan, Calon dan/atau tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/atau Pemilih,” tutur Neta.

Ayat 2, tambah dia, calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi dapat dikenai sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.

Ayat 3, tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pidana. Ayat 4, selain calon atau pasangan calon, anggota partai lolitik, tim kampanye, dan relawan, atau pihak lain juga dilarang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk: a. mempengaruhi Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilih. b. menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga mengakibatkan suara tidak sah dan c. memengaruhi untuk memilih calon tertentu atau tidak memilih calon tertentu.

Ayat 5, pemberian sanksi administrasi terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tidak menggugurkan sanksi pidana. “Ancaman pidananya, di Pasal 73 ayat 4 disebutkan pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar,” kata dia. (npm)