Mahkamah Konstitusi

Oleh: Muhammad AS Hikam

Dalam sejarah negara-negara demokrasi modern, belum pernah atau kalau pun pernah, amat jarang bahwa seorang Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) sampai diminta mundur oleh 54 orang mahaguru. Belum lagi permintaan yang sama dari organisasi-organisasi masyarakat sipil dan para tokoh masyarakat serta publik.

Dan itulah yang saat ini dialami oleh Ketua MK RI Prof. Arief Hidayat. Tak pelak lagi, MK harus memperhatikan aspirasi tersebut danĀ Arief Hidayat seharusnya secara ksatria memenuhi permintaan tersebut. Sebab alasan yang digunakan para mahaguru dan organisasi masyarakat sipil itu sangat kuat dan tak terbantahkan. Yaitu alasan bahwa yang bersangkutan telah melakukan beberapa kali pelanggaran etik dan telah pernah dijatuhi sanksi oleh lembaga di mana beliau bekerja.

MK adalah lembaga tinggi negara yang sangat bergengsi dan kewenangannya sangat besar, sebagai pemberi kata putus yang terakhir dan mengikat terhadap konstitusionalitas suatu undang-undang di negeri ini.

Pihak yang meminta Arief Hidayat mundur berpandangan bahwa MK harus diisi oleh hakim yang memahami hakikat kejujuran, kebenaran, dan keadilan. Konsekuensinya apabila ada Hakim MK yang “terbukti melanggar kode etik, maka hal tersebut menandakan yang bersangkutan tak memiliki kualitas sebagai negarawan.

Jangan sampai MK yang notabene adalah salah satu hasil terpenting reformasi itu, makin kehilangan marwah dan kewibawaannya, setelah mantan ketuanya, Akil Mochtar, dan seorang hakimnya, Patrialis Akbar, dinyatakan bersalah dalam kasus tipikor sehingga keduanya sekarang dibui.

Arief Hidayat bisa saja memakai dalih-dalih legal formal dan dukungan politik dari parpol dan penguasa untuk tetap bercokol pada posisinya, tetapi hemat saya, legitimasi etiknya sulit untuk dipertahankan di muka rakyat Indonesia. Dan hal itu serta merta alan membawa implikasi negatif bagi citra dan wibawa MK.

Publik seharusnya juga mendukung langkah-langkah para mahaguru dan organisasi masyarakat sipil Indonesia dalam upaya mempertahankan marwah MK tersebut. Sikap diam dan abai akan makin membuat para pelanggar etik bersikap arogan dan tak mau melakukan koreksi diri. Ujung-ujungnya sistem demokrasi di negeri ini akan goyah sendi-sendi utamanya.

Jangan sampai itu terjadi! (*)