Prabowo-Sandi

Oleh: M. Nigara

SETELAH GBK, Palembang, dan Solo, fakta apa lagi yang akan kalian bantah? Di tiga tempat itu – sebetulnya bukan hanya di tiga tempat itu saja, tapi di seluruh tempat saat Prabowo dan Sandi datangi – para pendukung datang secara mandiri. Jumlahnya, maaf, jangan iri ya, dahsyat.

Spontan lagi masif. Militan tapi santun. Semua semata-mata karena ridha Allah, karena kehendak Allah, karena skenario Allah. Subhanallah.

Jangankan dimobilisasi, dikasih bus gratis saja mereka tidak. Tengoklah relawan dari Sumatera Barat, mereka berpatungan menyewa pesawat. Fakta ini yang tadi pagi coba dibantah oleh salah seorang pendukung 01 dari partai berwarna bendera merah. “Kami tahu ada mobilisasi, dan yang mendanai. Mana mungkin orang mau datang ke GBK dengan biaya sendiri hanya untuk mendengar orang pidato!” katanya di tvone.

Benarkah? Jawabnya, kita jawab dengan tertawa saja. Tapi, nanti dulu, jika dia berkata seperti itu (tepatnya menuduh yang mungkin lantaran iri), artinya patut diduga dia biasa melakukannya begitu. Dan di medsos pun kita berulang kali melihat ada prilaku bagi-bagi duit dari atas panggung ke para pendukung calegnya. Sehingga sangat wajar ada persepsi bahwa dan sangat mungkin orang-orang datang karena ada pembagian duit. Bahkan Jokowi dan Ma’ruf pun tak sungkan membagi-bagi kaos dengan cara dilempar.

Di kubu 02, hal itu pasti tidak ada. Saya ingin mengambil contoh diri saya dan istri saya sendiri. Kami punya kelompok-kelompok relawan: Ada Jalak 7 (Jaringan Lintas Angkatan, alumni SMAN 7), JASMA (Jaringan Alumni SMA se-Jakarta), Bonsi 12 PAS (alumni SMAN 12), dan Koalisi PADI (alumni STP/IISIP). Semua bergerak, bahu-membahu, membuat posko-posko yang menyediakan makanan, minuman air mineral, teh, kopi gratis. Dananya alhamdulillah dari kocek kami masing-masing. Ini sangat mudah dicek melalui bank-bank yang ada. Ada yang mengirim Rp 50 ribu ada juga yang mengirim Rp 10 juta.

Mengapa hal ini perlu dilakukan? Awalnya dimulai saat 411 ditahun 2016. Sebuah gerakan spontan karena Ahok menghina Al-Quran lewat Al-Maidah ayat 51. Lalu gerakan umat tadi dilanjutkan dengan aksi 212. Gerakan aksi atas dasar keterpanggilan. Tak pelak, keterpanggilan itulah yang membuat kami semua bahu-membahu mendukung gerakan tersebut. Lalu berlanjut hingga saat ini.

Gerakan ini juga kami lakukan agar Capres dan Cawapres bersih, tak terbebani dan bebas hati. Padahal saat itu belum muncul hasil Ijtima Ulama, tapi kami ingin sang paslon tidak berhutang budi pada para cukong. Kita tahu, dulu Jokowi-JK di-back-up oleh kekuatan cukong. Lalu kemudian ternyata, lagi-lagi Ahok melalui celotehnya memanaskan telinga, sebab dia menegaskan sekaligus membuka tabir dengan mengatakan: “Jokowi tidak bisa jadi Presiden tanpa pengembang,” (Okezone, 22/6/16).

Selain itu, kami bisa melihat dan merasakan bahwa kebijakan pemerintah sangat lekat hanya menguntungkan satu kelompok atau golongan tertentu saja. Untuk pilpres kali ini tampak bergulung-gulung kaos, sembako yang diberi merek perusahaan BUMN dan swasta lain.

Nah, dengan gerakan swadaya, dalam banyak kesempatan, relawan yang justru menyumbang ke Prabowo-Sandi, maka keduanya telah berhutang pada rakyat. Tidak ada bunga, dan tidak perlu dikembalikan, serta negara tidak tergadai di tangan siapa pun.

Harapan rakyat tentu hanya satu: Prabowo-Sandi mengejawantahkan janji kampanyenya untuk sebesar-besarnya menegakkan Keadilan dan Kemakmuran rakyat. Ya, a simple of that, ya sesederhana itu.

Jadi, jika masih ada yang meragukan bahwa Prabowo-Sandi akan menang – meski dalam tiga kampanye di tiga kota, dua di antaranya di kandang banteng dukungan massa tampak luar biasa – kita tertawa saja. Biarkanlah mereka begitu, karena Kamis (18/4) depan, mereka akan tahu Allah mengijabah doa kami. Aamiin.

Dan kepada para lembaga survey bayaran, sangat dimungkinkan akan banyak juga orang yang minta pertanggungjawaban mereka.

Tabik!(*)

*Wartawan Senior, Mantan Wasekjen PWI