Oleh: Tony Rosyid

BALAS budi? Dalam politik, istilah balas budi kurang begitu dikenal. Walaupun dua periode Ganjar Pranowo diberi tiket PDIP menjadi Gubernur Jateng, tidak berarti Ganjar akan menyerahkan sepenuhnya nasib politiknya kepada PDIP. Petugas partai oke, selama tiket didapat dari PDIP.

Tahun 2024, kemungkinan Ganjar tidak bertarung dengan tiket PDIP. Ada dua faktor mendasar. Pertama, Ganjar dianggap tidak tegak lurus ke Megawati. Trimedya, kader PDIP bilang: Ganjar kemlinthi. Kedua, Ganjar bisa menjadi ancaman bagi Puan Maharani dalam mengambil estafet kepemimpinan PDIP. Dua faktor ini terlihat betul-betul sudah disadari oleh para kader yang loyal ke Megawati.

Mungkinkah Ganjar akan diusung oleh Koalisi Indonesia Bersatu (Golkar, PPP, dan PAN) yang konon isunya disiapkan Jokowi? Bisa iya, bisa juga tidak. Sebab, KIB belum tentu juga bisa bertahan sampai tahun depan.

Saat ini, Jokowi dan Luhut Binsar Pandjaitan masih terlihat sangat kuat. Tahun depan, jelang akhir periode, belum tentu Jokowi dan Luhut masih punya pengaruh politik masih sekuat sekarang. Di dunia politik kita, ada tradisi ‘loncat pagar’ ketika jabatan presiden akan berakhir.

Politik itu kepentingan dan kesempatan. Gak ada kepentingan, siapa pun, termasuk penguasa, akan ditinggalkan. Karena itu, sejumlah kader pindah partai atau bikin partai baru ketika kepentingannya tidak terakomodir.

Begitu juga, kalau ada kepentingan tapi kesempatan gak ada, maka akan dengan sendirinya kepentingan itu menghilang. Sebaliknya, jika kesempatan ada, biasanya kepentingan akan muncul. Kata orang: kesempatan itu menggoda.

Saat ini Ganjar punya kesempatan. Elektabilitas Ganjar dalam survei lebih tinggi dari Puan Maharani. Puan memang digadang-gadang untuk menjadi calon PDIP, tapi Ganjar diklaim lebih dikehendaki oleh konstituen dari pada Puan. Benarkah?

Selama ini, Ganjar selalu dikritik soal prestasi. Pengkritik paling keras justru berasal dari para kader dan elit PDIP. Rekam jejak Ganjar dinilai kurang bagus. Selain dianggap sebagai gubernur kurang berprestasi, kasus Wadas mendapat sorotan cukup serius. Kasus e-KTP yang video persidangannya terus viral di Medsos juga menyebut nama Ganjar. Di antaranya Nazaruddin dan Setya Novanto.

Tim Ganjar nampak tidak peduli soal kasus dan prestasi. Di pilpres, yang penting elektabilitas. Memang benar, untuk menang dalam pertarungan merebut kursi presiden itu tidak ada syarat prestasi. Untuk menjadi presiden yang dibutuhkan itu elektabilitas, bukan prestasi. Makanya, kekuatan tim branding (kampanye) itu yang dibutuhkan. Baik tim media maupun tim jaringan.

Boleh jadi Puan lebih baik prestasinya. Tapi tim media dan jaringan Puan lemah. Kalah jauh dengan timnya Ganjar. Wajar kalau elektabilitas Puan selalu berada di bawah Ganjar.

Jokowi dukung Ganjar. Begitulah publik membacanya. Setidaknya untuk saat ini. Dengan mendukung Ganjar, setelah pensiun Jokowi masih bisa berperan. Sebagai orang yang menyiapkan partai, logistik, dan jaringan buat Ganjar, Jokowi bisa berkolaborasi dengan Ganjar jika Ganjar terpiliih jadi presiden.

Di PDIP, Jokowi hanya kader biasa. Petugas partai yang sering bersitegang dengan Megawati. Positioning Jokowi di PDIP sangat lemah. Satu-satunya jalan, dukung calon di luar tiket PDIP. Ganjar bisa menjadi satu di antara sekian kandidat pilihan.

Ini tidak ada hubungannya dengan apa yang disebut sebagai pembangkangan kader atau tidak tahu balas budi. Ini hanya soal pilihan yang tidak bisa dihindari jika Ganjar dan Jokowi ingin tetap eksis ke depan. Satu-satunya pilihan adalah hadapi Megawati. Mau tidak mau.

Kalau anda paham betul teori hukum sejarah di antaranya yang ditulis secara cukup lengkap oleh Ibnu Khaldun dan Karl Marx, anda akan punya kesimpulan seperti di atas. Ini bukan mau Ganjar dan Jokowi. Bukan juga maunya Megawati dan Puan. Tapi perseteruan ini lebih dibentuk oleh tuntutan situasi politik saat ini. Mereka sulit disatukan karena kepentingan politik yang berseberangan.

Ini pertaruhan besar, pertaruhan mati hidup Ganjar dan Jokowi. Jika Ganjar urungkan niatnya untuk maju Pilpres, maka akan kehilangan kesempatan, dan eksistensi politiknya bisa berakhir. Lebih baik hadapi PDIP dengan semua risiko. Soal dapat tiket atau tidak, kalah atau menang, itu soal lain.

Begitu juga dengan Jokowi, pasca pensiun akan kehilangan pengaruh. Maka, Ganjar adalah “salah satu” pilihan yang bisa menjadi lokomotif masa depan politik buat Jokowi.

Saat ini, tidak ada pilihan bagi Jokowi kecuali berseberangan dengan Megawati. Jokowi belum tentu menghendakinya demikian, tapi pilihan dan situasi politik tidak memberi pilihan lain. Sebab tidak ada tempat yang signifikan dan strategis bagi Jokowi di PDIP. Ini yang memaksa Jokowi harus berseberangan dengan PDIP di Pilpres 2024. Ganjar dianggap salah satu di antara beberapa pilihan yang bisa jadi calon Jokowi, termasuk untuk melawan PDIP.

Jika PDIP bermanuver dengan calonkan Ganjar dan singkirkan Jokowi, ada persolan yang tidak kalah serius. Ganjar, jika menang dan jadi penguasa, ini bisa jadi ancaman buat PDIP. Sepeninggal Megawati, Ganjar bisa ambil alih kepemimpinan PDIP. Bagi penguasa, ini tidak terlalu sulit. Komposisinya, Ganjar ketum PDIP, Jokowi bisa menjadi pembinanya. Puan boleh jadi akan dipensiun dini-kan.

Sekali lagi, dan ini fakta yang terjadi bahwa politik bukan soal balas budi. Politik bukan bagaimana kita berbuat yang ideal. Politik itu kesempatan dan relasi kepentingan. Kesempatan tidak memberi banyak pilihan untuk sebuah kepentingan, tapi seringkali hanya satu pilihan.

Saat ini satu-satunya pilihan bagi Jokowi dan Ganjar adalah berseberangan dengan Megawati dan PDIP. Gak ada pilihan kompromi, karena pilihan kompromi akan sangat merugikan bagi Jokowi dan Ganjar.

Memilih kompromi, Jokowi dan Ganjar tersingkir. Nasibnya mungkin akan seperti Rustriningsih, kader PDIP yang pernah jadi Wagub Jateng. Pensiun dini. Mau tidak mau, harus hadapi Megawati dan PDIP. Siapa yang kalah, tersingkir. Pemenang hanya ada pada pihak yang kuat. (*)

* Penulis adalah pengamat politik dan pemerhati bangsa.