Emak-emak

Oleh: M. Nigara

SUDAHLAH, tak perlu lagi kita ributkan soal rekonsiliasi atau apa pun yang sejenisnya. Kita juga tak perlu berharap pada koalisi partai Adil-Makmur untuk menjadi oposan. Secara resmi koalisi itu sudah dibubarkan, alias semua partai bisa mengambil jalan masing-masing, utamanya bagi Gerindra.

Lagi pula, apa sih untungnya buat rakyat jika mereka beroposisi? Toh langkah mereka selama ini murni langkah politik. Lalu, apa pula ruginya jika partai koalisi, kecuali PKS yang nyata-nyata sudah mengatakan tetap berada di seberang, melakukan rekonsiliasi?

Tengok yang diucapkan Zulkifli Hasan, Ketum PAN seperti dilansir di banyak media: “Kita move on,” ajaknya. Zulhas mencontohkan untuk kader partai bisa mengurusi partai, sementara masyarakat bisa mengurus kegiatannya masing-masing. Jelas kan?

Sejauh ini, dalam memandang perilaku orang politik, agaknya jangan pernah bermimpi indah bahwa mereka sungguh-sungguh akan membela rakyat. Orang politik itu tujuannya hanya satu: Kepentingan. Ya, hanya kepentingan yang menjadi tujuan utama mereka. Ini slogan yang biasa ada di orang politik Tidak ada kawan sejati, dan tidak ada musuh abadi, maknanya sangat terang-benderang.

Mungkin mereka tak berbeda jauh dengan sopir angkot nakal yang tidak tertib lalin, ketika mengemudi bisa berbelok sekehendak hati dan tiba-tiba. Tidak memikirkan keselamatan dirinya, penumpang, dan orang lain. Banyak tampilan di masyarakat tentang politisi, jika kepentingannya sudah tercapai, mereka tak akan perduli lagi pada rakyat yang telah berjasa meloloskan partai mereka ke Senayan. Apalagi jika saat Pileg dan Pilpres, ada banyak juga rakyat yang mau menerima atau bahkan berharap kena serangan fajar.

Kita saja yang terlalu naif untuk terus meminta agar partai koalisi Adil-Makmur bisa dipertahankan. Terlalu polos, terlalu lugu. Berharap hati para politisi itu tetap konsisten seutuhnya mewakili suara rakyat. Ya, kita mencoba berpikiran positif, namun balasannya justru potensial negatif.

Oposisi Emak-Emak
Jadi, untuk apalagi asa itu terus dikembangkan? Sudah biarkan saja rekonsiliasi terjadi, bahkan jika Prabowo dan Sandi juga ingin melakukan, ya biarin aja! Yang pasti, kita: Emak-Emak militan, dan insyaa Allah sebagian besar di antara kita, tetap semangat untuk berjuang.

Ada atau tidak ada partai, tujuan kita untuk meraih perubahan harus terus dilakukan. Soal siapa kelak yang akan memimpin, seperti apa perjuangan kita, dan bagaimana hasilnya, kita serahkan kepada Allah SWT seraya tak putus berdoa.

Bagi saya, prinsip dasar dari perjuangan adalah ketulusan dan keikhlasan. Selain itu, akhir dari perjuangan bukan untuk diri kita atau kelompok kita, tapi untuk kemaslahatan.

Contoh telah kita dapatkan dari kisah Khalifah Umar bin Abdul Aziz, simak cuplikannya.

Suatu ketika khalifah Umar bin Abdul Aziz berkeliling kota sambil menaiki kuda, beliau meninjau ibu kota untuk mengetahui secara langsung kondisi rakyatnya. Beliau tak ingin di akhirat memperoleh hukuman akibat kelalaiannya.

Di sebuah tempat, Umar melihat seorang kakek sedang sibuk menanam kurma. Terjadilah dialog di antara keduanya. Singkatnya, sang Khalifah menanyakan mengapa kakek itu susah-payah menanam kurma, padahal dia tak akan menikmati panennya. “Benar ya khalifah, ketika panen datang, hamba bukan tidak mungkin telah dipanggil Ilahi,” jawab sang kakek.
“Lalu?” Sang khalifah bertanya dengan wajah heran.

“Hamba menanam bukan untuk hamba, tapi untuk anak, cucu, dan keturunan hamba. Hamba ikhlas mengerjakan untuk mereka semua,” jawabnya lagi dengan suara lembut. Khalifah Umar tertegun, tersipu malu, dan menitikkan air mata.

Jadi, usaha keras dan keikhlasan yang telah diperlihatkan oleh Emak-Emak militan dan para pejuang lainnya harus terus dilanjutkan. Soal hasil kita pasrahkan kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Ini kita sematkan di hati dengan sungguh-sungguh ikhlas. Kita juga hendaknya percaya bahwa masa itu akan datang. Toh perjuangan Emak-Emak militan serta kita semua, tentu sama maknanya dengan kakek tua itu.

Kita ingin anak, cucu, cicit, dan keturunan kita bisa sungguh-sungguh hidup sejahtera di negeri kita ini. Negerinya sendiri, negeri tercinta. Kita ingin mereka tidak dijajah oleh bangsa lain, yang berdasar banyak kajian, saat ini yang mendekati kenyataan adalah oleh bangsa Cina.

Kita juga ingin agama Allah bisa terus terjaga hingga akhir zaman. Kita ingin pemimpin kita nanti diridhoi bukan hanya diizinkan oleh Allah.

Ya, jika pemimpin diridhoi, maka seluruh langkahnya akan terjaga oleh Allah. Diridhoi, artinya langkah untuk meraihnya dengan cara yang halal. Diridhoi artinya, segala kebohongan, kemunafikan, keserakahan, kedzaliman, bukan menjadi bagiannya. Dengan begitu kita mendekati Indonesia yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Aamiin.

Sementara jika hanya sebatas diizinkan, artinya di dalamnya masih berkecamuk kebohongan, kemunafikan, keserakahan, kedzaliman.

Diizinkan bisa berarti itu ujian Allah kepada yang diuji. Sehingga dimungkinkan dibiarkan sebuah hasil diperoleh dengan cara menipu, merampok, mencurangi orang lain dan sejenisnya. Kemudian Allah-lah yang memutuskan, siapa gerangan yang diuji, di mana kelak dia akan ditempatkan jika menabrak perintah-Nya. Nauzubillah.

Rekonsiliasi kek, tidak kek, jangan lagi jadi domain kita. Ada Prabowo dan Sandi kek, tidak kek, juga bukan jadi tujuan pokok kita. Memang… he he he, masih berharap sih, alangkah indahnya jika Prabowo-Sandi tetap bersama kita. Perlu saya tegaskan, harapan ini tidak ada kaitannya dengan tudingan poros ke-3, seperti ada yang menuding begitu. Dan maaf, lontaran tudingan itu kesannya atas orderan.

Karena basis kita sebagai pejuang yang mayoritas muslim, pastinya kita tidak berjuang untuk dan atas nama orang perorang. Kita berjuang dengan basis keseriusan, keikhlasan, dan untuk kemaslahatan umat.

Ayooo… teruslah kita berjuang dan percayalah tidak ada yang sia-sia.

Semoga perjuangan kita dicatat sebagai ibadah oleh Allah SWT. Aamiin….. (*)

*Wartawan Senior