Oleh: Muhammad AS Hikam

Membuat kebijakan publik yang memiliki implikasi strategis seperti pendidikan nasional, tidak bisa dilakukan dengan sekedar melontarkan gagasan “setengah matang” ke ruang publik dan berharap akan mendapat dukungan serta bisa langsung dilaksanakan. Apalagi jika mengingat bahwa lingkungan masyarakat dimana kebijakan tersebut dibuat adalah masyarakat yang terbuka dan demokratis, bukan lingkungan masyarakat tertutup dan otoriter atau sentralistik.

Pembuat kebijakan publik, jika menginginkan gagasan dan produknya sukses, setidak-tidaknya harus memahami bahwa ia tidak bisa sekedar melontarkan keinginannya (seberapa baik pun) secara semena-mena.

Hemat saya, munculnya respon negatif yang meluas terhadap gagasan kebijakan “Full Day School” (Sekolah Sehari Penuh) yang dibuat oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) baru, Prof. Dr. Muhajir Effendi, tidak hanya karena aspek substansi yang masih bisa diperdebatkan (debatable), tetapi juga karena proses sosialisasi awalnya yang keliru.

Muncul dan berkembangnya gagasan tersebut terkesan sangat tergesa-gesa, sehingga rentan terhadap distorsi informasi. Akibatnya, diskusi publik mengenai gagasan Muhajir Effendi hanyalah sekedar kegaduhan dan bahkan sensasionalisme. Hal ini tidak perlu terjadi seandainya Muhajir Effendi menyampaikan gagasannya secara gradual dan dalam lingkaran yang terbatas, khususnya di kalangan para pakar pendidikan dan stakeholders pendidikan yang memiliki pengaruh dalam masyarakat dan pemerintah.

Muhajir Effendi misalnya perlu melontarkan gagasannya kepada para pakar seperti peneliti Merapi Cultural Institute (MCI) Agustinus Sucipto yang pandangannya saya tautkan di bawah ini. Pakar seperti Agustinus Sucipto ini jumlahnya tidak sedikit di negeri ini, dan mereka akan mampu memberikan masukan-masukan yang substantif kepada Muhajir Effendi dan jajaran Kemendikbud.

Pandangan Agustinus Sucipto yang kritis terhadap gagasan kebijakan Full Day School itu, misalnya, sangat menarik dan perlu dicermati bersama sebagai bahan masukan yang berharga. Tentu saja akan ada pro-kontra. Tetapi setidaknya hal itu bisa dikelola dengan baik ketimbang jika dilepas begitu saja seperti sekarang. Apalagi jika Muhajir Effendi sendiri tampak tidak jelas dan tidak siap menghadapi reaksi penolakan yang bertubi-tubi dari publik.

Akibat dari kesembronoan dalam sosialisasi awal ini, gagasan yang bisa saja bernilai positif dari sang Menteri, malah berubah menjadi bahan kontroversi yang merugikan beliau dan Pemerintah. Apalagi mengingat Muhajir Effendi adalah menteri yang baru dilantik sebagai hasil reshuffle terhadap menteri sebelumnya, Anies Baswedan, yang nama dan reputasinyanya sangat baik. Akan sulit untuk menghindari spekulasi dan opini yang membandingkan keduanya, padahal Muhajir Effendi masih terlalu singkat untuk bisa diketahui dan dinilai kinerjanya!

Sangatlah disayangkan jika kemudian kebijakan “Full Day School” (Sekolah Sehari Penuh) yang mungkin saja punya landasan pemikiran yang bagus dan dampak positif bagi bangsa, malah menjadi guyonan “Fool’s Day School” alias Sekolah Hari Bo’ongan. Mirip dengan kebiasaan “April Mop” atawa “Fool’s Day” tanggal 1 April itu. Semoga Pak Mendikbud tidak sedang membuat guyonan macam Fool’s Day saja…