Papua

Kastara.ID, Jakarta – Pertemuan Presiden Joko Widodo dengan 61 tokoh Papua di Istana Negara, Selasa (10/9), dinilai tak sentuh akar persoalan Papua dan Papua Barat.

Sebanyak 61 orang tokoh Papua yang hadir di istana negara komponen tokoh dari adat, gereja, organisasi, akademisi, mahasiswa, wanita, dan pemuda. Pada tokoh menyampaikan aspirasi untuk memajukan dan meningkatkan kesejahteraan Papua.

Pada pertemuan itu muncul wacana untuk membangun istana kepresidenan di Papua. Bahkan Abisai Rollo selaku Ketua DPRD Jayapura mengatakan siap menyumbangkan lahan pribadi seluas 10 hektare untuk membangun Istana Negara di Jayapura.

Selain itu, Jokowi akan meresmikan Jembatan Holtekamp secepatnya. Tak hanya itu Jokowi juga ingin mengecek proyek-proyek infrastruktur di Tanah Papua yang sudah diresmikan sebelumnya.

Namun sebelumnya, masyarakat Papua dan Papua Barat pernah menyampaikan agar Jokowi datang ke Papua. Rencana kehadiran Jokowi di Papua, awalnya direncanakan pada 05 September 2019 namun batal, dan Jokowi berjanji akan ke Papua paling lambat Oktober mendatang.

Timotius, selaku Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) menilai pemerintah pusat kurang melibatkan MRP dalam setiap kebijakan yang dibuat untuk Papua. MRP menyayangkan tak dilibatkan dalam pertemuan tersebut.

Bahkan, Yan Christian Warinussy selaku pegiat hak asasi manusia di Papua menilai bahwa pertemuan Presiden Joko Widodo dengan sejumlah tokoh Papua di Istana Negara bahkan tidak menyentuh persoalan yang bergejolak di Papua saat ini.

Yan mengklaim bahwa tamu undangan pertemuan ini berasal dari nonpemerintah sehingga tak satu pun substansi yang mempersoalkan rasisme yang kemarin terjadi terhadap mahasiswa, diskriminasi yang terjadi terhadap mahasiswa dan seluruh warga Papua.

Lagi, Yan menilai 10 aspirasi yang disampaikan kepada Presiden tidak mewakili kebutuhan masyarakat Papua. Yan juga yang merupakan direktur Lembaga Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari mengatakan bahwa yang dibutuhkan di Papua adalah keadilan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM serta klarifikasi sejarah masa lalu terkait integrasi Papua ke Republik Indonesia.

Kedua hal tersebut seharusnya dilakukan menurut Undang-Undang Otonomi Khusus, antara lain dengan membentuk Pengadilan HAM serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Sehingga tidak ada lagi ketakutan dan trauma masyarakat Papua akan masa lalu terhadap luka kolektif tersebut.

Berbeda dengan itu, Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Adita Irawati mengatakan status Abisai yang merupakan eks timses Jokowi hanya kebetulan. Ia menegaskan, pihak Istana tidak memilih-milih tokoh yang diundang dari sikap politiknya di pilpres lalu. (rya)