Kastara.id, Tabanan – Berkunjung ke area persawahan di Bali yang menerapkan Subak, bukan sekadar kunjungan belaka, namun juga menggali nilai-nilai sosial di dalamnya. Itulah yang dilakukan peserta World Culture Forum atau Forum Budaya Dunia, di hari pertama penyelenggaraan World Culture Forum (WCF) 2016, Senin (10/10).

Membuka gelaran WCF 2016, peserta mengikuti Cultural Visit atau Kunjungan Budaya ke Subak.  Peserta yang terdiri dari para pembicara dan pembahas Forum Budaya Dunia ini mengunjungi Situs Warisan Budaya Dunia, Subak, di kawasan Jatiluwih, Tabanan, Bali. Kunjungan Kebudayaan ini dirancang agar para peserta memahami ritme pembangunan kebudayaan di Bali, sesuai dengan tema utama WCF 2016 ‘Culture for an Inclusive Sustainable Planet’.

Subak merupakan penyebutan sistem irigasi air di Bali, yang dibentuk sebagai sistem pengelolaan untuk memastikan agar air dapat mengairi sawah-sawah di sebuah banjar (desa). Laiknya organisasi tradisional lainnya di Bali. Subak juga berlandaskan filosofi Tri Hita Karana. Sebuah filosofi yang mengajarkan bahwa kebahagiaan manusia akan tercapai bila manusia mampu menjaga keharmonisan hubungan antara tiga elemen,yaitu Parhyangan (Ketuhanan), Pawongan (Manusia), dan Palemahan (Alam).

Para peserta juga mendapatkan pengetahuan dari para pembicara terkait kendala bagi keberlangsungan sistem Subak. Salah satunya adalah karena tuntutan pembangunan yang begitu cepat di berbagai bidang, utamanya pariwisata, yang dampaknya kurang sejalan dengan nilai-nilai kearifan lokal yang dianut masyarakat setempat.

Karena itulah, Subak menjadi salah satu hal yang akan dibicarakan dalam World Culture Forum 2016, sebab merupakan contoh kompleksitas permasalahan yang dihadapi dalam melestarikan kearifan lokal yang sejalan dengan tuntutan pembangunan di Bali sebagai basis pariwisata dunia. Untuk itu pilihan upaya menggaungkan Subak kepada masyarakat dunia menjadi pengetahuan berharga karena diharapkan menjembatani interdependensi antara manusia, alam, dan ketuhanan.

Direktur Pusat Rekonstruksi Pedesaan Liang Shuming dari Cina, Lanying Zhang, mengatakan, Bali merupakan tempat yang menarik dari sisi budaya, terlebih lagi sebagian besar penduduknya beragama Hindu. Saat ikut berkunjung ke Subak, ia sempat berbincang-bincang dengan petani di sana. Ia mengatakan, saat ini dunia menghadapi tantangan dalam mengelola objek pariwisata yang juga bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia.

“Menurut saya budaya adalah aspek fundamental yang sangat penting bagi suatu negara untuk pembangunan yang berkelanjutan. Penting bagi kita untuk saling mempelajari budaya satu sama lain dan mewariskan budaya tersebut ke generasi muda. Ini tantangan kita bersama,” ujar Lanying Zhang yang juga menjadi salah satu pembicara dalam simposium WCF 2016 itu.

Sebelum turun langsung ke Subak, para peserta WCF 2016 juga sempat berkunjung Pura Batukaru untuk melihat upacara meminta air suci kepada Dewa. Mereka juga berdialog interaktif bersama Direktur Yayasan Konservasi Sawah Bali Phyllis Kaplan dan Dosen Hubungan Internasional Universitas Udhayana Wiwik Dharmiasih.

Wiwik mengatakan, Subak merupakan aset penting di Bali, yang bukan hanya harus dijaga, namun juga dilestarikan keberlangsungannya. “Modern ini sudah banyak petani yang menanamkan pikiran kepada cucunya untuk tidak menjadi petani, melainkan menjadi dokter dan sebagainya. Pikiran seperti inilah yang pada akhirnya membuat subak terabaikan. Dengan adanya pembangunan ekonomi untuk sawah, dapat menimbulkan kembali kesadaran masyarakat untuk bisa bertani dan menghasilkan produk sendiri, tanpa harus mengambil barang dari negara lain,” ujarnya. (nad)