KCIC

Kastara.ID, Jakarta – Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya merestui proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal itu setelah Jokowi meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021 pada Rabu, 6 Oktober 2021. Aturan tersebut menggantikan Perpres Nomor 107 Tahun 2015.

Dalam Perpres 93/2021, Jokowi mengubah aturan soal pendanaan proyek prestisius itu. Pasal 4 ayat (2) Perpres 93/2021 menyatakan penggunaan APBN dimungkinkan dalam rangka Belanja Negara dalam rangka menjaga keberlanjutan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Namun dengan memperhatikan kapasitas dan kesinambungan fiskal.

Perpres 93/2021 merinci pembiayaan dari APBN dilakukan dalam dua bentuk. Pertama, menggunakan skema Penyertaan Modal Negara (PMN) yang diberikan kepada  pimpinan konsorsium BUMN yang menggarap proyek ini. PMN diberikan untuk pemenuhan kekurangan kewajiban penyetoran modal (base equity) pada perusahaan patungan.

PMN juga diberikan guna memenuhi kewajiban perusahaan patungan akibat kenaikan atau perubahan biaya (cost overrun). Jika terjadi kenaikan biaya, pimpinan konsorsium BUMN mengajukan permohonan kepada Menteri BUMN untuk memperoleh dukungan dengan menyertakan kajian mengenai dampaknya terhadap studi kelayakan terakhir.

Perpres 93/2021 diketahui telah mengubah pimpinan konsorsium BUMN, dari semula PT Wijaya Karya (Wika) menjadi PT Kereta Api Indonesia (KAI).

Skema kedua penggunaan APBN adalah penjaminan kewajiban pimpinan konsorsium BUMN. Skema ini bisa dilakukan jika konsorsium membutuhkan pinjaman untuk menambah modal akibat biaya proyek membengkak. Penjaminan akan diberikan ketika dana PMN tidak mencukupi. Nantinya Menteri Keuangan akan menugaskan badan usaha penjaminan infrastruktur melakukan penjaminan tersebut.

Keputusan Jokowi mengizinkan penggunaan APBN berbeda dengan aturan sebelumnya, yakni Perpres 107/2015. Pasal 4 ayat (2) menegaskan pelaksanaan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung tidak menggunakan APBN dan tidak dijamin pemerintah. Dalam berbagai kesempatan sebelumnya, Jokowi juga menyatakan proyek tersebut tidak menggunakan sepeser pun uang rakyat.

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menyebut megaproyek itu dilakukan secara bussines to bussiness atau B to B. Pelaksanaannya diserahkan kepada BUMN. Jokowi saat itu mengaku tidak ingin membebani anggaran, meski pengembangan kereta api di tanah air sangat dibutuhkan. Itulah sebabnya proyek tersebut dilakukan secara B to B.

Berbagai pihak menilai perubahan sikap pemerintah tak lepas dari kenyataan biaya proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung membengkak hingga Rp 27 triliun. Akibatnya proyek yang dikerjakan bersama China itu kini sudah menelan biaya Rp 113 triliun. (ant)