Pilpres 2024

Kastara.ID, Jakarta – Ketua Pansus Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN), Ahmad Doli Kurnia Tanjung, menargetkan RUU tersebut disahkan menjadi UU pada awal 2022.

Doli menegaskan, pemerinrah dan mayoritas fraksi di DPR sepakat dibutuhkan pemindahan IKN.

“Kesepakatan pemerintah dan mayoritas fraksi di DPR itu menguatkan dugaan, pemindahan IKN untuk mengakomodir kepentingan elit daripada rakyat. Elit yang dimaksud di sini adalah eksekutif dan dan partai pendukung pemerintah,” ungkap M Jamiluddin Ritonga, Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul Jakarta kepada Kastara.ID, Sabtu (11/12) pagi.

Menurut pengamat yang biasa disapa Jamil ini, mayoritas fraksi di DPR yang mendukung pemindahan IKN itu juga berasal dari partai pendukung pemerintah. Fraksi di DPR ini akan dijadikan stempel untuk memuluskan keinginan para elit tersebut dengan target selesai awal 2022.

“Selain itu, RUU IKN inisiatif dari eksekutif. Hal ini mengindikasikan pemindahan IKN memang lebih dominan keinginan pemimpin (elit) daripada rakyat,” jelas Jamil.

Pemindahan IKN semakin elitis karena Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menetapkan lokasi IKN baru. Jokowi setelah meninjau Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, akhirnya memutuskan lokasi IKN baru seluas 180 ribu hektar di perbatasan Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Panajam Paser Utara, Kalimantan Timur.

“Di lain pihak, rakyat hingga sekarang belum pernah ditanyakan apakah setuju IKN dipindahkan. Rakyat juga tidak pernah ditanya di mana lokasi IKN yang baru,” tandas Jamil yang juga penulis buku Tipologi Pesan Persuasif ini.

Rakyat tiba-tiba dikejutkan, lokasi IKN yang baru sudah ditetapkan. Cara penetapan lokasi IKN ini layaknya seperti di zaman kerajaan saja. Saat raja ingin memindahkan ibu kota kerajaannya, sang raja pun meninjau beberapa lokasi. Kalau sang raja merasa cocok, ia pun mengeluarkan titah dengan menetapkan lokasi ibu kota kerajaannya yang baru. Raja merasa itu haknya, dan rakyat harus ikut titah sang raja.

“Tapi Indonesia sekarang menganut demokrasi. Presiden tidak bisa seperti raja mengeluarkan titah pemindahan IKN. UUD 1945 yang diamandemen juga tidak memberi kewenangan kepada presiden untuk menetapkan IKN baru, termasuk lokasinya,” jelas Jamil yang juga mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta ini.

Karena itu, kalau negeri ini masih merasa menganut demokrasi, pemindahan IKN dan penetapan lokasinya seharusnya mendapat persetujuan dahulu dari rakyat. Rakyat harus ditanya melalui referendum tentang dua hal.

“Pertama, apakah rakyat setuju IKN dipindahkan? Dua, kalau setuju, di mana lokasi IKN yang diinginkan?” tanya Jamil yang mengajar mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi ini

Kalau rakyat setuju, barulah disusun RUU IKN untuk dibahas bersama oleh pemerintah dan DPR. Bukan sebaliknya, elit ingin IKN dipindahkan dengan menetapkan dahulu lokasinya, baru dibuat RUU untuk disahkan oleh DPR RI.

“Masalahnya, apakah negeri ini, terutama elit negeri, masih komit untuk berdemokrasi?” pungkas Jamil. (dwi)