CBU

Kastara.ID, Jakarta – Kementerian Perindustrian terus memacu industri otomotif di Indonesia gencar melakukan ekspor guna turut memperbaiki neraca perdagangan nasional. Langkah ini sesuai dengan implementasi peta jalan Making Indonesia 4.0.

“Di roadmap tersebut, salah satu sektor yang tengah diprioritaskan pengembangannya, yakni industri otomotif. Sasarannya, Indonesia diharapkan menjadi basis produksi kendaraan bermotor baik internal combustion engine (ICE) maupun electrified vehicle (EV) untuk pasar domestik maupun ekspor,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di Jakarta, Selasa (12/2).

Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), ekspor mobil utuh (completely built up/CBU) sepanjang 2018 tumbuh 14,44 persen menjadi 264.553 unit dibanding tahun sebelumnya. Capaian tersebut merupakan yang tertinggi dari tahun-tahun sebelumnya.

Jumlah ekspor kendaraan roda empat CBU diperkirakan terus naik seiring penerapan kebijakan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor 01 tahun 2019 tentang Tata Laksana Ekspor Kendaraan Bermotor dalam Bentuk Jadi (CBU) yang berlaku mulai 1 Februari 2019.

Dalam regulasi yang baru ditegaskan bahwa Pemberitahuan Eskpor Barang (PEB) dapat diajukan setelah barang ekspor masuk ke Kawasan Pabean. Kemudian, pemasukan ke Kawasan Pabean tidak memerlukan Nota Pelayanan Ekspor (NPE) serta pembetulan jumlah dan jenis barang paling lambat tiga hari sejak tanggal keberangkatan sarana pengangkut.

Penyederhanaan aturan itu, dinilai membawa manfaat, di antaranya akurasi data lebih terjamin karena proses bisnis dilakukan secara otomasi melalui integrasi data antara perusahaan, Tempat Penimbunan Sementara (TPS), serta Ditjen Bea dan Cukai.

Selanjutnya, menurunkan average stock level sebesar 36 persen, sehingga meningkatkan efisiensi penumpukan di Gudang Eksportir. Dapat memaksimalkan jangka waktu penumpukan di Gudang TPS selama tujuh hari karena proses grouping dan finalquality control sebelum pengajuan PEB dapat dilakukan di TPS.

Benefit lainnya, menurunkan biaya trucking karena kebutuhan truk untuk transportasi turun sebesar 19 persen per tahun sehingga logistics partner tidak perlu investasi truk dalam jumlah banyak. Kemudian, menurunkan biaya logistik terkait storage dan handling menjadi sebesar Rp 600 ribu per unit dan biaya trucking menjadi sebesar Rp 150 ribu per unit.

“Kami menyambut baik regulasi tersebut, karena ekspor otomotif diberikan kemudahan. Ini sangat berarti untuk industri kita yang sedang bersaing dengan negara lain. Selain itu, ini membuktikan bahwa ekspor kita tidak hanya komoditas,” tutur Menperin.

Menurutnya, industri otomotif merupakan sektor quick yielding atau cepat menghasilkan untuk devisa melalui peningkatan ekspor. Sebab, struktur manufakturnya sudah dalam, mulai dari industri baja, kimia, kaca, hingga ban. Bahkan, kepercayaan dunia internasional terhadap produk otomotif nasional sudah tinggi.

“Daya saing industri otomotif kita juga didukung dengan jumlah tenaga kerja dan sektor jasa terkaitnya yang cukup banyak. Tahun kemarin, ekspor mobil CBU sudah lebih dari 264 ribu unit, dan yang bentuk CKD sekitar 82 ribu unit, sehingga total melampaui 346 ribu unit dengan nilai USD 4 miliar dan tambahan dari ekspor komponen otomotif senilai USD 2,6 miliar,” ungkap Airlangga.

Indonesia dinilai akan menjadi hub bagi manufaktur industri otomotif, yang kini sedang bersaing dengan India. “Kita punya Detroit-nya Indonesia di Bekasi, Karawang, dan Purwakarta, di mana strukturnya sudah dalam mulai tier 1, 2, sampai 3. Selain itu, investasi industri otomotif juga akan terus bertambah,” imbuhnya.

Airlangga menambahkan, pihaknya terus berupaya meningkatkan investasi dan memperluas pasar ekspor untuk industri otomotif nasional. Oleh karena itu, diperlukan fasilitas insentif fiskal guna memacu produksi kendaran yang sesuai selera konsumen global. “Misalnya, kami mendorong peningkatan ekspor sedan,” tuturnya.

Menperin menyambut baik adanya rencana penerbitan beberapa regulasi untuk mendukung pengembangan sektor industri, seperti yang terkait dengan mobil listrik, vokasi, dan litbang. “Ini yang sedang kami tunggu, karena sudah ada beberapa investor yang akan masuk,” ujarnya.

Investor itu misalnya di sektor industri otomotif, yang akan menanamkan modal senilai USD 800 juta. “Mereka sudah komitmen untuk membangun industri electric vehicle di Indonesia dengan target produksi di tahun 2022. Dan, ini dapat mendukung target kita di tahun 2025 nanti bahwa 20 persen adalah electric vehicle,” paparnya.

Kemenperin juga sedang menunggu percepatan perjanjian kerja sama ekonomi yang komprehensif dengan Australia. “Kalau CEPA dengan Australia itu terbuka, maka ada 1 juta pasar yang terbuka. Kami sudah bicara dengan principal, ekspornya akan dari Indonesia,” lanjutnya.

Menperin meyakini, apabila upaya-upaya tersebut terealisasi, akan mendongkrak produksi mobil di Indonesia mencapai 2 juta unit per tahun. “Jadi, dalam waktu 2-3 tahun bisa dipercepat ekspornya. Dan, tentunya kita mengharapkan, industri-industri semacam ini terus kita dorong,” ungkapnya.

Namun demikian, tidak hanya industri otomotif yang dipacu, tetapi juga sektor-sektor lain yang menjadi prioritas dalam program yang dicanangkan Presiden Joko Widodo melalui Making Indonesia 4.0. “Ada industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, kimia, serta elektronika,” sebutnya. Manufaktur tersebut telah memiliki daya saing tinggi dan terus didorong ekspornya agar bisa berperan menjadi substitusi impor.

Menperin memastikan, kemampuan industri otomotif nasional saat ini telah kompetitif dan struktur manufaktur semakin dalam dengan didukung banyaknya industri komponen di dalam negeri. “Maka itu, beberapa kendaraan yang diproduksi, tingkat kandungan lokalnya sangat tinggi mencapai 75-94 persen,” ujarnya.

Airlangga menegaskan, Kemenperin aktif mendorong terciptanya penambahan investasi baru maupun perluasan usaha, serta mengajak pelaku industri otomotif untuk mengadopsi teknologi terkini. Upaya ini diharapkan dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif.

“Kami terus mendorong agar manufaktur-manufaktur otomotif di dalam negeri dapat merealisasikan pengembangan kendaraan rendah emisi atau Low Carbon Emission Vehicle (LCEV) yang telah kami programkan melalui sebuah roadmap yang jelas,” tegasnya.

Di dalam peta jalan tersebut, juga terdapat tahapan dan target dalam upaya pengembangan kendaraan berbasis energi listrik di Indonesia. “Jadi, pada tahun 2025, sekitar 20 persen dari kendaraan yang diproduksi di Indonesia adalah produk LCEV,” pungkasnya. (mar)