Sekolah

Kastara.ID, Jakarta — Dalam beberapa tahun belakangan ini, kesadaran warga negara atas berbagai produk legislasi terutama undang-undang (UU) cukup tinggi. Salah satunya dapat dilihat dari sikap kritis masyarakat terhadap berbagai UU mulai dari tahap penyusunan, pembahasan hingga pengesahan. Bahkan beberapa UU setelah disahkan oleh DPR dan Pemerintah diuji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh berbagai kelompok masyarakat. Salah satunya UU Cipta Kerja yang oleh MK diputuskan inkonstitusional bersyarat dan harus diperbaiki dalam jangka waktu dua tahun. Terakhir, UU Ibukota Negara (IKN) yang baru disahkan DPR juga akan digugat ke MK.

Anggota DPD RI Fahira Idris mengungkapkan, sesuai amanat konstitusi, semua peraturan perundang- undangan di Indonesia harus berparadigma cita hukum Pancasila. Karena jika tidak, maka UU tersebut akan digugat publik dan berpotensi dibatalkan MK. Peraturan perundang-undangan yang berparadigma cita hukum Pancasila harus mencerminkan dua ciri yang bersifat kumulatif yaitu pertama, memiliki karakter berkelanjutan. Kedua, berbasis pada otonomi, desentralisme dan keragaman adat dan hak-hak tradisional.

“Jika kita melihat banyaknya produk UU yang diuji materi ke MK bahkan di antaranya dibatalkan, artinya belum semua peraturan perundang-undangan di Indonesia berparadigma cita hukum Pancasila. Ini tentunya menjadi tantangan besar bagi Pemerintah dan juga DPR. Apa yang terjadi dengan UU Cipta Kerja harus menjadi pelajaran bagi penyusunan UU bahwa undang-undang yang dibentuk harus didasarkan pada fakta berupa kebutuhan hukum masyarakat bukan kebutuhan hukum penguasa apalagi golongan tertentu,” ujar Fahira Idris di sela-sela Sosialisasi Empat Pilar MPR RI di Jakarta Timur (12/2).

Fahira menjelaskan, perundang-undangan yang memiliki karakter berkelanjutan mensyaratkan undang-undang yang dibentuk harus didasarkan pada fakta berupa kebutuhan hukum masyarakat, bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim. Sementara sifat kumulatif kedua yaitu berbasis pada otonomi, desentralisme dan keragaman adat dan hak-hak tradisional adalah semangat yang diwarisi pada para pendiri bangsa (the founding fathers) yang sejak awal telah memahami bahwa sejarah politik dan kekuasaan di Indonesia pada dasarnya berbasis pada kepentingan daerah (lokal).

“Jadi rumus agar undang-undang tidak digugat dan dibatalkan MK sebenarnya cukup sederhana yaitu didasarkan atas kebutuhan hukum masyarakat dan berbasis pada otonomi, desentralisme dan keragaman adat dan hak-hak tradisional. Kita semua harus menyegarkan memori bangsa ini bahwa Indonesia merupakan negara hukum baik dalam arti rechtstaats maupun rule of law, bukan negara kekuasaan belaka,” pungkas Fahira Idris. (dwi)