Manufaktur

Kastara.ID, Jakarta – Sektor industri manufaktur sepanjang triwulan I tahun 2019 menunjukkan kinerja positif. Hal ini ditunjukkan oleh nilai Prompt Manufacturing Index (PMI) yang dirilis oleh Bank Indonesia (BI). PMI manufaktur Indonesia pada triwulan I-2019 berada di angka 52,65 persen, lebih tinggi dari triwulan IV-2018 sebesar 52,58%.

Angka tersebut menunjukkan sektor industri manufaktur berada pada level ekspansif. Kondisi ini juga sejalan dengan pertumbuhan kegiatan usaha pada sektor industri manufaktur pada triwulan I-2019.

Dalam jangka waktu 2014-2017, industri kelas menengah mengalami petumbuhan sebanyak 5.898 unit, sehingga semula pada 2014 jumlahnya 25 ribu unit usaha menjadi 31 ribu unit usaha. “Untuk sektor usaha kecil, dalam empat tahun terakhir, terjadi kenaikan pelaku usaha yang hampir di angka satu juta,” ungkap Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di Jakarta, Jumat (12/4).

Sementara itu, menurut publikasi survei PMI-BI, peningkatan usaha sektor manufaktur pada triwulan I-2019 diindikasikan dengan Saldo Bersih Tertimbang (SBT) pada kegiatan usaha industri manufaktur sebesar 1,00 persen atau lebih tinggi dibandingkan triwulan IV-2018 yang mencapai 0,32 persen.

“Oleh karena itu, Kemenperin terus berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga lainnya untuk semakin mendorong sektor industri manufaktur agar lebih berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, serta dapat mendukung stabilitas sosial dan pengembangan sektor swasta yang dinamis,” paparnya.

Kemudian, peningkatan kinerja industri manufaktur sepanjang triwulan I-2019, juga didorong oleh ekspansi pada sebagian besar komponen indeks pembentuk PMI, terutama indeks volume pesanan, indeks volume produksi dan indeks persediaan barang jadi. Indikator volume pesanan pada triwulan I-2019 tercatat mengalami ekspansi dengan indeks sebesar 54,04 persen.

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Onny Widjanarko menyampaikan, peningkatan kinerja industri manufaktur terutama didorong oleh meningkatnya permintaan domestik dan kenaikan volume pesanan yang sejalan dengan persiapan Ramadan dan Idul Fitri 2019.

“Berdasarkan subsektor, ekspansi kinerja industri manufaktur terutama terjadi pada subsektor industri kertas dan barang cetakan, industri makanan, minuman dan tembakau,” ungkapnya.

Tingginya permintaan dan volume produksi juga mendorong peningkatan persediaan barang jadi. Indikator persediaan barang jadi periode triwulan I-2019 berada pada fase ekspansi dengan indeks sebesar 53,29%. “Peningkatan aktivitas produksi sektor industri manufaktur terindikasi berdampak pada penggunaan tenaga kerja yang meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya,” tutur Onny.

Sementara itu, indeks jumlah tenaga kerja pada triwulan I-2019 tercatat berada pada level ekspansi sebesar 51,22 persen. Angka tersebut naik dibandingkan triwulan IV-2018 yang berada di level kontraksi dengan indeks sebesar 48,92 persen.

Onny menambahkan, kinerja postif sektor industri manufaktur diproyeksikan akan terus berlanjut pada triwulan II-2019. Hal tersebut terindikasi dari PMI-BI yang diprakirakan tetap pada fase ekspansi dengan indeks sebesar 53,21 persen pada periode tersebut.

“Ekspansi kinerja industri manufaktur pada triwulan II-2019 diproyeksikan masih terjadi pada subsektor yang sama, yaitu industri kertas dan barang cetakan, industri makanan dan minuman, serta industri hasiltembakau dengan indeks berturut-turut sebesar 55,16 persen dan 52,73 persen,” tegasnya.

Masih bergeliat

Pada kesempatan yang sama, Menperin menyampaikan, perkembangan kinerja sektor industri manufaktur sebagaimana diindikasikan oleh PMI-BI sejalan dengan perkembangan indeks manajer pembelian manufaktur (Purchasing Managers Index) yang dirilis oleh Nikkei.

Pada Maret 2019, survei Nikei menyebutkan, PMI manufaktur Indonesia berada di level 51,2 yang menunjukkan kinerja industri manufaktur Indonesia berada pada level ekspansi. Capaian ini lebih tinggi dibanding indeks PMI Nikkei Indonesia periode triwulan I-2019 (Januari-Maret) sebesar 50,4 dan pada bulan Februari 2019 yang berada di angka 50,1.

“Kenaikan PMI ini sangat positif, membuktikan bahwa industri manufaktur kita masih bergeliat. Untuk itu, kami terus dorong agar lebih produktif dan berdaya saing,” ujar Airlangga. Selain itu, dapat mencermikankepercayaan diri para investor di sektor industri masih tumbuh. “Mereka melihat bahwa iklim usaha di Indonesia tetap stabil dan telah mampu mengelola ekonomi melalui norma baru,” imbuhnya.

Di tingkat ASEAN, PMI manufaktur Indonesia pada maret 2019 menempati peringkat ke-4 atau mampu melampaui capaian Thailand (50,3), Singapura (47,9), dan Malaysia (47,2). PMI manufaktur Indonesia juga lebih tinggi dari perolehan PMI manufaktur ASEAN sebesar 50,3.

“Hasil positif tersebut tentu didorong oleh upaya Pemerintahan Jokowi-JK memberi angin segar dengan menciptakan iklim bisnis yang kondusif melalui peluncuran paket kebijakan ekonomi serta kemudahan dalam perizinan usaha. Hasilnya, arus investasi pun semakin deras menuju Tanah Air.

“Belum lagi bicara kebijakan strategis yang mendukung sektor industri, seperti menjaga ketersediaan bahan baku, pembangunan infrastruktur, dan kelancaran arus logistik,” ujarnya. Ini yang mendorong pula investasi dan ekspansi di sektor industri manufaktur. “Saat ini sudah dikembangkan 13 kawasan industri baru dan 22 sentra IKM baru,” lanjutnya.

Menperin menegaskan, pertumbuhan industri serta investasi konsisten memberikan efek berantai bagi perekonomian nasional, seperti perluasan lapangan kerja, peningkatan kualitas hasil produksi serta nilai ekspor.

Pada 2017, ekspor nonmigas tercatat di angka USD 125,1 miliar, melonjak hingga USD 130 miliar di tahun 2018 atau naik sebesar 3,98 persen. “Pada tahun 2018, kontribusinya mencapai 72,25 persen. Selama ini memang menjadi penyumbang terbesar. Selain itu, artinya bahwa produk-produk industri manufaktur dalam negeri sudah banyak berbicara di level global,” tuturnya.

Kemenperin juga mencatat, investasi di sektor industri manufaktur terus tumbuh signifikan. Pada tahun 2014, penanaman modal masuk sebesar Rp 195,74 triliun, kemudian naik mencapai Rp 222,3 triliun di 2018. Peningkatan investasi ini mendongkrak penyerapan tenaga kerja hingga 18,25 juta orang di 2018, yang berkontribusi sebesar 14,72 persen terhadap total tenaga kerja nasional.

“Dari tahun 2015 ke 2018, terjadi kenaikan 17,4 persen dan ini diperkirakan bisa menambah lagi penyerapan tenaga kerjanya di tahun 2019 seiring adanya realisasi investasi,” ungkap Menperin.

Kemenperin menargetkan, sepanjang 2019 pertumbuhan industri manufaktur dapat mencapai 5,4 persen. Subsektor yang diperkirakan tumbuh tinggi, antara lain industri makanan dan minuman, industri permesinan, industri tekstil dan pakaian jadi, industri kulit, barang dari kulit, dan alas kaki, serta industri barang logam, komputer dan barang elektronika.

“Kami juga terus berupaya memacu pengembangan industri manufaktur nasional agar lebih berdaya saing global, seiring pelaksanaan peta jalan Making Indonesia 4.0. Selain itu mengoptimalkan produktivitas, terutama industri yang berorientasi ekspor serta menarik investasi industri substitusi impor,” terangnya.

Sadar bahwa dunia memasuki era revolusi industri 4.0, pemerintah pun telah menyiapkan program-program agar generasi Indonesia siap bersaing dengan negara lain. Hal ini tertuang dalam peta jalan Making Indonesia 4.0

Tahun ini, pemerintah memfokuskan pada pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM). Untuk itu, program pendidikan vokasi dikembangkan agar link and match terhadap berbagai sektor industri.

“Program tersebut telah berhasil menggandeng sebanyak 2.700 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan 899 industri. Program ini ke depannya terus digulirkan dalam rangka peningkatan kompetensi SDM untuk memenuhi kebutuhan industri, terutama guna menghadapi industri 4.0,” paparnya. (mar)