Paradoks

Oleh: Mohammad Sabri

YANG menyangka ada jalan pintas dalam iman

akan menemukan jalan buntu dalam sejarah

(Goenawan Muhamad,2008)

Pengalaman mistik (mystical experience), pada tradisi filsafat acapkali diungkapkan dalam literasi metafisik. Padahal, pendekatan metafisika bukannya tanpa kelemahan, terutama dari sudut penggunaan “bahasa” dan kategorinya yang sulit diverifikasi.

Pengalaman mistik bersifat esoteric dan mengalir senyap pada “ruang sebelah dalam” (inner space) manusia. Rudolf Otto (1869-1937) dalam The Idea of the Holy mendaku: pada inner space itu, terdapat struktur a priori nonrasional, yang menopang “keinsafan batin” tentang Yang Kudus: lokus—dimana  pengalaman ‘gigil ganjil’ (horor) dan dentuman ‘rindu yang menyengat’ (amor)—bertaut.

Dalam tradisi filsafat Barat, Filsafat Analitik dituduh sebagai “pembunuh” paling kejam terhadap metafisika dan hadir untuk sebuah ambisi: menghalau pandangan filsafat dari bahasa yang taksa, “bermakna ganda” (ambiguity) dan ungkapan-ungkapan “canggih” tapi kabur pengertiannya (vagueness). Wittgenstein (1889-1951) ditahbiskan sebagai tokoh terpenting dan representasi trend filsafat ini. Dari tradisi Wittgenstein kelak dikenalkan cara berfilsafat mengenai pengalaman mistik yang tidak lagi menggunakan “jalur” metafisika, tapi melalui penggunaan bahasa. Tak pelak, bangunan tradisi filsafat religius klasik¾seperti mystical union, tashâwwuf atau ‘irfâni dalam tradisi Islam ¾yang sejauh ini setia menggunakan “jalur” metafisika pun guyah.

Setidaknya ada dua magnum opus Wittgenstein yang punya pengaruh cukup luas, Tractatus Logico-Philosophicus (1921) dan Philosophical Investigations (1953). Kedua buku ini menampilkan dua perspektif filosofis yang tidak saja kontradiksi tapi juga mewakili tahap-tahap perkembangan pemikiran filsafat Wittgenstein, sehingga sudah menjadi kelaziman menyebut “Wittgenstein I” untuk mewakili Tractatus Logico-Philosophicus dan “Wittgenstein II” merepresentasi Philosophical Investigation, ketika seseorang mempercakapkan diaspora pemikirannya itu.  

Wittgenstein I, mengandaikan hubungan mutlak antara “bahasa” dan “dunia fakta.” Atau dalam istilah epistemologi: korespondensi antara “proposisi” dan “kedudukan faktual.” Karena itu, fungsi bahasa hanya satu (uniformity): “menggambarkan” realitas dunia fakta. “The limits of language meaning the limits of my world.” Apa yang tidak bisa dipercakapkan lewat bahasa—karena tidak ada keadaan faktualnya—itu pun tak dapat dipikirkan. Di sini Wittgenstein ingin menegaskan: semua persoalan mistisisme, muncul karena keinginan mengungkapkan apa yang sejatinya tak dapat dipercakapkan. Karena setiap bentuk pengalaman mistik, emanasi, kesatuan ontologis, dan spiritualitas bagi Wittgenstein, ingin mengatakan apa yang sejatinya tidak bisa dipercakapkan manusia melalui bahasanya.

Wittgenstein I mendaku, pengalaman mistik adalah “pengalaman langsung” (direct experience), namun tak tunai dengan kalam. Karena bahasa kita sendiri terbatas. “Hal-hal tak tercakapkan itulah yang mistis. Selanjutnya, Whereof one cannot speak, thereof one must be silent: “Tentang yang tak tunai dengan kalam, cukuplah kita berdiam diri saja,” begitu Wittgenstein I mengunci pandangannya.

Sementara, Wittgenstein II mengandaikan, bahasa mempunyai sejumlah fungsi (plurimormity) yang tumbuh mekar dari kehidupan jamak. Wittgenstein juga menegaskan, di samping bahasa “deskriptif” yang mengandalkan fakta, juga terdapat bahasa “performatif”, yaitu “speech-act” atau “tindakan bahasa”. Anggita terakhir ini, oleh sejumlah filsuf mistik kelak dijadikan dasar bahasa kehadiran, yaitu (teori tentang) “Aku Emanatif” atau “Aku Performatif”: pengalaman langsung tentang aku yang berbicara, merasa, berfikir, berkeinginan, menilai, membuat keputusan, dan memiliki penginderaan, imajinasi serta inteleksi.”

Inilah language game, tema populer Wittgenstein II yang mengalir dalam kehidupan jamak penuh warna. Karena language game inilah, bahasa memiliki makna, tergantung pada penggunaannya (meaning is use). Di sinilah letak kelemahan bahasa logika—yang menjadi paradigma Wittgenstein I—sebab ia akan mengakibatkan distorsi habis-habisan, jika dipaksakan “memahami” sesuatu yang memang status ontologisnya berada di luar fakta empiris. Inilah yang coba dikaji secara mendalam antara lain oleh filsuf-teosof Mehdi Ha’iri Yazdî dalam, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (1992). Bagi Yazdi, pengalaman mistik tidak bisa “dibaca” dengan bahasa logika yang berdasarkan pengetahuan-dengan-korespondensi, tapi melalui pengetahuan-dengan-kehadiran. Bagi Yazdî, bahasa mistik—sebagai pengungkapan pengalaman mistik—niscaya memiliki “aturan main” (language game) yang khas dan tipikal. Kendati Yazdî menggunakan metode Filsafat Analitik—khususnya language game—tapi dengan filsafat itu, Yazdî justru mengaktualkan sekaligus menunjukkan keabsahan suatu  pengetahuan yang dalam filsafat isyrâqiyyah disebut sebagai al-‘Ilm al-Hudhûrî atau Knowledge by Presence.

Di sini Yazdi, tidak saja menolak pengandaian Wittgenstein terutama menyangkut “keterbatasan bahasa” sebagai medium ekspresi pengalaman mistik, tetapi bahkan memahkotai gagasannya itu dengan epistemologi yang bercorak metafisik-iluminatif-eksistensial.

Filsafat—seperti pendakuan Marleau Ponty—“seharusnya hanya deskripsi saja. Tapi  melakukan itu sungguh sulit, karena kita kurang epoche. Semestinya  kita menarik diri terlebih dulu, hingga benang-benang intensionalitas terurai, dan deskripsi pun menjadi cemerlang.” Jangan-jangan Wittgenstein benar ketika mengatakan, “untuk hal-hal yang tak tunai dengan kalam, cukuplah kita diam.” Sebab “diam” bukan gambaran ‘ketiadaan pengetahuan’ tapi sebilah pengalaman “mistisisme murni” yang meneguhkan: merengkuh kemanisan iman, tak akan diraih melalui jalan pintas. (*)

*Direktur Pengkajian Materi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).