Satu Jiwa

Kastara.id, Jakarta – Jika kita satu jiwa (neʹfes), maka jangan biarkan prasangka gelap merajalela. Jiwa adalah benih kehidupan. Roh yang mendasari hidup kita. Tubuh tanpa roh (pneuʹma); daya hidup, adalah mati. Inilah persangkaan yang terdeskripsi dalam sebuah pementasan tari kolosal bertajuk ’Satu Jiwa’ yang digelar di lapangan Kantor Bupati Lamandau, Kalimantan Tengah, beberapa waktu lalu.

Tidak kurang dari 300 pelajar mengeksplorasi diri membentuk konfigurasi yang indah. Di tengah halaman luas dan megahnya panggung yang ditingkahi musik dan kilatan cahaya berbagai warna. Malam itu, anak-anak Indonesia yang terkolaborasi di Sanggar Swargaloka Jakarta dan para pelajar dari Kabupaten Lamandau, memberi spirit dan energi tak terbatas.

Tari kolosal Satu Jiwa menunjukkan kecerdasan, keagungan hati dan harmoni. Membuka sekat-sekat primordialisme, menstimulasi menjaga persatuan dan kesatuan. Menguatkan bahwa seni dan budaya adalah harkat dan derajat yang ikut menentukan kualitas bangsa.

Tarian kolosal Satu Jiwa menggambarkan betapa megahnya keragaman budaya. Mengandung pesan agar bangsa ini bersatu, bekerja keras menggapai asa.

Satu Jiwa

“Kita senang melihat pertunjukan ini. Animo, atensi, dan apresiasi masyarakat cukup bagus. Walau proses latihannya singkat, dan anak-anak yang dilibatkan bukan profesional, tapi berhasil menyita perhatian,” ujar Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lamandau Meigo sekaligus Koordinator Sub Bidang Pementasan Kolosal dan Hiburan Panitia Penyelenggara FSQ VII 2018.

Meigo mengharapkan, dari acara ini semakin menguatkan spirit ’Bahaum Bakuba’ (musyawarah – mufakat), dan Kabupaten Lamandau semakin dikenal. “Di dalamnya mengangkat budaya daerah. Baik dari sisi seni musik, tari, atau sisi filosofis masyarakat kami. Acara ini menjadi kesan positif dan sarana promosi. Lamandau semakin dikenal,” ujarnya.

Tari kolosal Satu Jiwa yang disutradarai Suryandoro ini, merupakan produksi kerja sama Sanggar Swargaloka Jakarta, dan Pemerintah Kabupaten Lamandau Provinsi Kalimantan Tengah. Melibatkan Bathara Saverigadi Dewandoro sebagai Penata Tari. Dengan Komposer/Penata Musik, Dedek Wahyudi, Penata Artistik, Dewi Sulastri, Set/Property, Agus Linduaji, Penata Kostum, Yani Wulandari, serta didukung ratusan penari, dari Lamandau dan Jakarta.

Pergelaran ini disaksikan ribuan warga masyarakat Lamandau, yang penasaran ingin menyaksikan pertunjukan spektakuler kolosal ini. Tampak di antaranya Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah Sugianto Sabran, para Bupati dan Walikota, sejumlah pejabat terkait, tokoh masyarakat, pemuka agama, seniman, budayawan, dan masyarakat luas, serta ribuan kafilah FSQ VII 2018 dan para pendamping, dari 13 Kabupaten dan 1 Kota se-Provinsi Kalimantan Tengah.

Sutradara pertunjukan ini Suryandoro mengatakan, karya ini terinspirasi dari kehidupan masyarakat Kalimantan Tengah, dengan berbagai etnik, budaya, dan agama, namun dapat bersatu dalam keragaman. “FSQ VII 2018 adalah momentum untuk menyatukan jiwa dengan cinta. Karena sesungguhnya cinta sejati itu dapat menyatukan segala perbedaan,” ujarnya. (hero)

Datu Jiwa