Fahira IdrisFahira Idris. (Jie/Kastara.ID)

Kastara.id, Jakarta – Berbagai pengungkapan kasus kejahatan narkoba yang terjadi akhir-akhir ini patut diapresiasi. Di sisi lain, hal itu menunjukkan bahwa kejahatan narkotika di Indonesia sudah mencapai tahap yang membahayakan bagi eksistensi Indonesia sebagai sebuah bangsa. Selain jalur peredarannya yang sangat luas dan lintas batas negara, kejahatan narkotika dilakukan oleh sindikat atau mafia yang profesional, militan, terorganisir, dan sistematis. Jihad melawan narkoba semakin berat saat para mafia ini memanfaatkan teknologi tercanggih dan ditopang dengan pendanaan yang besar.

“Acaman narkoba bukan hanya nyata tetapi sudah merongrong kita sebagai sebuah bangsa. Jika negeri ini ingin tetap berdiri, Undang-Undang Narkotika harus segera direvisi karena sudah tidak mampu lagi mengantisipasi kejahatan narkoba yang semakin luar biasa. Narkoba ini proxy war paling nyata yang sedang menghantam bangsa ini,” ujar Ketua Komite III DPD RI Fahira Idris di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta (13/3).

Fahira mengungkapkan, setidaknya ada tiga peta permasalahan dalam UU Narkotika yang mendesak untuk direvisi agar efektif menjadi ‘senjata perang’ yang komperhensif terhadap kejahatan narkotika. Pertama, ketegasan pembedaan pengguna narkotika (sebagai korban) dan pelaku kejahatan narkotika (pengedar) terutama dari sisi penegakan hukum dan sanksi hukum. Kedua, pengaturan UU Narkotika saat ini yang menggunakan model penggolongan jenis narkotika dengan dilampirkan di dalam UU mempersulit penegakan hukum mengingat jenis narkotika berkembang terus-menerus.

“Banyak narkoba jenis baru yang daya rusaknya begitu luar biasa, tetapi karena tidak ada dalam lampiran UU Narkotika yang sekarang, maka tidak dapat dipidana berdasarkan asas legalitas. Dari jumlah 200 narkotika jenis baru yang beredar di dunia, sekitar 68 jenis telah beredar di Indonesia. Kelemahan ini harus dicari solusinya,” jelas Fahira.

Ketiga, pengaturan kewenangan BNN. Terdapat dua penegak hukum menindak kejahatan narkoba yaitu BNN dan penyidik Polri. Revisi UU Narkotika diperlukan agar ada aturan yang tegas, kuat, jelas antara kedua institusi ini agar tidak terdapat konflik kewenangan.

Tidak hanya itu, berdasarkan hasil pengawasan Komite III DPD RI atas pelaksanaan UU Narkotika ditemukan berbagai persoalan yang juga harus segera diurai. Pertama, jumlah ganja kering yang berhasil disita BNN pada 2017 yang mencapai 151,22 ton (naik 100 kali lipat dari 2016) menjadi penyitaan yang tertinggi. Harus diakui, budi daya tanaman ganja oleh petani lokal masih sulit dikendalikan sampai saat ini. Oleh karena itu perlu ada program percepatan pembangunan alternatif subtitusi pertanian tanaman sumber bahan baku narkotika di daerah rawan. Program ini harus sinergis, didesain dan indikasi terukur yang bernilai ekonomis tinggi sehingga ganja tidak menjadi pilihan untuk ditanam.

Kedua, berdasarkan hasil temuan kasus di berbagai daerah, narkotika masuk ke Indonesia sebagian besar melalui jalur laut dan udara. Untuk itu, konsentrasi pengawasan dan keamanan di pos lintas batas baik perairan, udara, dan darat terutama di pelabuhan-pelabuhan kecil tidak bisa ditawar lagi.

Ketiga, sasaran narkotika yaitu pelajar sampai di pelosok daerah memerlukan pendekatan pendidikan, baik dalam bentuk sosialisasi maupun kurikulum bagi pelajar SD, SMP, dan SMA. Kerja sama dan pengawasan juga masih sangat diperlukan bersama BNN di daerah. Begitu pula perlu sosialisasi yang intensif tentang narkotika di kalangan mahasiswa.

Keempat, harus ada political will yang sangat kuat dari negara untuk segera memprioritaskan berdirinya lembaga perwakilan BNN di Kabupaten/Kota, khususnya daerah yang dikategorikan rawan penyebaran narkotika, termasuk menyiapkan dan menerjunkan tenaga penyuluh narkoba yang berkualitas.

Kelima, penegakan hukum kejahatan narkoba juga masih menjadi persoalan serius. Hingga saat ini masih banyak bandar narkoba yang sudah masuk daftar terpidana mati tetapi tidak kunjung dieksekusi. Konsekuensi dari penegakan hukum yang tidak tegas dan konsisten ini sangat kontra produktif dan berdampak buruk terhadap jihad bangsa ini melawan narkoba.

“Kalau kita sepakat narkoba kejahatan luar biasa, penegakan hukumnya juga harus luar biasa. Yang sudah masuk daftar hukuman mati segera eksekusi. Yang dihukum penjara jangan diberi remisi. Jika ada oknum penegak hukum yang terlibat jangan diberi ampun sedikit pun. Saya harap walau ini tahun politik, revisi UU Narkotika harus bisa segera dibahas dan dirampungkan. Apa pun yang kita lakukan terhadap negeri ini akan sia-sia selama narkoba merajalela,” pungkas Senator Jakarta ini. (dwi)