Kastara.ID, Jakarta – Para petani kopi di Indonesia ternyata menghadapi tiga masalah besar yang sangat krusial. Ketiganya adalah kualitas produk kopi, permodalan, dan pemenuhan pasar. Di tengah meningkatnya konsumsi kopi secara global, persoalan komoditas kopi ini harusnya jadi titik perhatian pemerintah. Ketiga masalah besar tersebut harus terpecahkan agar petani kopi sejahtera.

Dalam wawancaranya via Whatsapp, Jumat (13/3), Anggota Komisi IV DPR RI Hamid Noor Yasin mengungkapkan, seiring meningkatnya konsumi kopi dunia, isu kualitas kopi dimunculkan oleh para eksportir asing dengan melakukan sertifikasi produk kopi. Para petani kopi lokal keberatan dengan penilaian tersebut, karena cenderung menilai rendah kualitas kopinya. Ini lantaran para pelaku usaha kecil dan menengah belum memiliki teknologi pengolahan yang memadai.

“Teknologi pengolahan dan kemasan pada industri skala kecil dan menengah masih sangat sederhana. Masalah pengetahuan penanganan pascapanen juga jadi kendala yang serius. Petani masih relatif menangani pascapanen secara tradisional. Akibatnya mutu kopi sebagai bahan baku industri pengolahan kopi relatif rendah, atau paling tidak sulit diharapkan kekonsistenan kualitasnya,” jelas Hamid.

Saat ini, perkebunan kopi di Indonesia masih didominasi oleh perkebunan rakyat. Data 2006 mencapai 96 persen (1,21 juta ha dari total 1,26 juta ha). Sementara data mutakhir dari GAEKI (Gabungan Eksportir Kopi Indonesia), produksi kopi di Indonesia merupakan kopi rakyat (smallholders coffee), sedangkan selebihnya adalah kopi perkebunan besar (estates coffee). Komposisi kopi robusta kurang lebih 83 persen dari total produksi kopi Indonesia dan sisanya 17 persen berupa kopi arabika.

Perbandingan produksi kopi robusta dengan arabika tersebut diharapkan prosentasenya dapat ditingkatkan, yaitu untuk kopi arabika menjadi 30 persen dan robusta 70 persen. Sementara isu kedua soal permodalan, legislator asal Wonogiri, Jawa Tengah ini menjelaskan, produksi kopi untuk setiap satu ton, biaya yang dikeluarkan petani untuk operasional sampai masa panen mungkin sekitar Rp 6-7 juta dengan luas lahan berbeda-beda, ada yang 1-2 hektar. Ada juga petani yang hanya punya 0,5 hektar.

Dalam setahun masa panen kopi hanya sekali. Petani akan menghadapi tantangan untuk mengatur pengeluaran yang didapat dari panen kopi tersebut. Biasanya jika tidak sedang masa panen, petani kopi beralih ke usaha lain seperti menanam pisang hingga menjadi pedagang. “Terkadang persoalan modal muncul akibat konsistensi petani dalam menghasilkan kopi. Dengan bantuan KUR, diharapkan mampu menggenjot produksi kopi nasional, asalkan sesuai prosedur dan peruntukan tanpa ada penyelewengan,” ulasnya.

Sedangkan isu pasar dijelaskan Hamid, para petani kopi saat ini kadang kewalahan memenuhi permintaan pasar. Berapa pun hasil panen kopi, ada peristiwa rebutan untuk membeli produk hasil panen kopi berkualitas. Harganya bersaing, siapa yang berani menawar lebih tinggi di situ petani akan melepas produknya. “Di sini terlihat bahwa penyediaan stok kopi berkualitas untuk memenuhi pasar menjadi persoalan sekaligus tantangan bagi petani untuk meningkatkan produksinya.”

Peran Pemerintah sangat penting untuk membantu mengembangkan komoditas kopi, baik secara jumlah maupun kualitas. Saat ini, negara penanam kopi ada 75 negara. Tiap negara memiliki varietas kopi yang berbeda dalam rasa dan aroma. Negara-negara penanam kopi sedang gencar melakukan penanaman kopi dengan tujuan komersial untuk memenuhi permintaan di pasar dunia. (rso)