Puasa

Oleh: Tony Rosyid

RAMADAN tiba. Marhaban, sebuah kata yang beredar di group-group medsos. Diiringi ucapan maaf dan ditutup doa.

Satu dengan yang lain saling berapa setiap jelang Ramadan. Mengucapkan kata selamat. Tidak Islam, tidak Kristen, tidak Hindhu, tidak Budha, tidak Konghucu. Semua mengucapkan selamat kepada saudara-saudaranya yang muslim. Belum lagi kalau lebaran.

Rukun, guyup, dan hidup harmonis. Agama tak jadi sekat. Iman bukan tembok penghalang untuk membangun harmoni sosial.

Indonesia ini negeri penuh keragaman. Etnis, bahasa, budaya, dan agama. Dari dulu, satu sama lain membaur dalam komunitas yang beragam. Saling Asih dan Saling Asuh. Saling hormat dan menghargai.

Ada bencana, tak lagi tanya agama. Yang ditanya: perlu bantuan apa? Apa yang dibutuhkan? Di sinilah persaudaraan itu menjadi warisan turun temurun dalam ragam solidaritas yang terus menguat.

Ramadan, dengan banjirnya ucapan dari lintas iman, ini bukti betapa damainya Indonesia. Hanya saja, suasana damai tak semua orang suka. Terutama mereka yang tak mau puasa.

Jadi pejabat, nyolong. Gak bisa puasa. Punya suara, dijual. Gak tahan lihat uang dan jabatan. Gak dapat jabatan, adu domba. Orang-orang ini gak kenal puasa. Ada yang lempar-lempar bom, lalu teriak teroris. Ngeri ah….

Coba kalau pejabat puasa, gak akan nyolong lagi. Para politisi puasa, gak adu domba lagi. Pengusaha puasa, gak sogok sana sogok sini. Anggota DPR puasa, gak budek lagi.

Ayuk puasa. Puasa nyolong, puasa korupsi, puasa nyuap, puasa adu domba. Kalau semua pada puasa, Indonesia akan seperti surga. Tapi, kapan? (*)

* Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa