Bandung Lautan Api

Oleh: M. Nigara

BUMI HANGUS? Rasanya tidak mungkin. Susah-susah mencari harta, membangun atau membeli, mungkin juga warisan (rumah) kok harus dibumihanguskan? Tapi, bagi rakyat yang cinta tanah air dengan penuh kebulatan tekad, itu bukan apa-apa. Maka, Bandung pun menjadi lautan api.

Tiba-tiba saya teringat kisah yang diceritakan Bapak saya itu. Sebagai komandan TKR berpangkat Sersan Mayor, Bapak saya memberikan contoh. Sebelum melakukan pengungsian menuju arah Banjaran, Kampung Sitimunigar yang tidak jauh dari Tegalega Bandung, dibumihanguskan.

Sitimunigar adalah nama keponakan Bapak saya yang tewas dalam satu serangan Belanda. Kampung itu adalah kampung keluarga. “Kami tidak sudi rumah-rumah kami digunakan oleh mereka!” kenang Serma Zainal Abidin.

Kisah Bandung Lautan Api ada dalam sejarah Indonesia. Bandung lautan api adalah salah satu perlawanan rakyat yang paling heroik di era penjajahan. Bukan hanya kampung dan harta Bapak dan Ibu saya yang hangus terbakar, tapi lebih dari separuh kampung dan rumah rakyat di Bandung Selatan yang musnah sebagai simbol perlawanan. Simbol kebulatan tekad rakyat terkait hal yang hakiki.

Apa makna kisah itu? Saya hanya ingin mengatakan, Jika rakyat melawan, maka apa pun bisa mereka lakukan. Bagi rakyat, kebenaran bukan basa-basi. Bagi rakyat kebenaran adalah tujuan hakiki. Jika ada orang, siapa pun mereka, bermain-main dengan kebenaran, maka kebangkitan rakyat akan sangat luar biasa.

Bayangkan, rakyat Bandung Selatan tidak sudi rumah-rumah mereka dimanfaatkan oleh Belanda dan para pengkhianat bangsa. Maka membumihanguskan bukan lagi persoalan. Mereka berjalan kaki puluhan kilometer, membawa bekal seadanya. Tapi, mereka yakin hartanya tidak bisa digunakan oleh mereka yang tidak berhak.

Jadi, mereka pun saat ini bisa bangkit jika ternyata suara mereka hilang dan digunakan oleh yang tidak berhak. Jika rakyat meyakini hal itu sama seperti keyakinan tentang Bandung Lautan Api, jujur, saya ngeri membayangkannya.

Umat Islam, umat-umat lain yang pernah hadir di Aksi Bela Islam 212, sudah membuktikan diri mampu berkumpul bersama, belasan juta warga jumlahnya. Meski begitu dahsyat, hingga dicatat sebagai aktivitas manusia terbesar di dunia sepanjang sejarah, tapi tak seorang pun yang terganggu.

Meski dilabeli intoleran, tapi fakta justru berkata lain. Pasangan pengantin, warga keturunan, beragama bukan Islam, justru dikawal hingga gereja. Pernikahannya dijaga dengan baik. Artinya level intoleran yang mereka bangun, ternyata palsu.

“Kalau mereka intoleran, kalau mereka ingin mendirikan negara khilafah, mengapa mereka menerima kami?” Itu kata beberapa tokoh yang juga bukan muslim dan banyak dari mereka yang warga keturunan.

Sekali lagi, jangan gunakan suara rakyat untuk yang tidak berhak. Jangan kecewakan rakyat yang sudah memberimu nafkah dan jangan khianati rakyat yang sudah memberimu amanah. Jangan biarkan makna Bandung Lautan Api kembali menyala.

Semoga di penghujung hari-hari ini, para Komisioner KPU, mau berpikir bijak dengan dasar kebenaran. Dan semoga Allah selalu menjaga kita sebagai bangsa dan saudara. Aamiin…. (*)

*Wartawan Senior