Oleh: Yons Achmad

NICHOLAS Negroponte, jauh hari sudah menulis sebuah buku berjudul “Being Digital”. Profesor Teknologi Media di Massachussets Institute of Technology (MIT) ini pernah meramalkan bagaimana banyak pekerjaan akan diambil alih oleh antarmuka (penghubung) digital yang cerdas. Dunia memaksa semua orang “Menjadi Digital”. Sebuah pemandangan yang bisa kita saksikan dalam kehidupan keseharian sekarang ini.

Dia, walau optimistis, tapi tetap khawatir, bahwa setiap teknologi atau buah sains selalu mempunyai sisi gelap. Teknologi digital tak terkecuali. Dulu dia meramalkan bagaimana dunia mendatang, bakal melihat kasus-kasus pelanggaran hak cipta intelektual dan penyusupan privasi. Kita bakal mengalami vandalisme digital, pembajakan software dan pencurian data. Yang paling menyedihkan, hilangnya beberapa pekerjaan. Lantas, bagaimana seharusnya sikap terbaik? Kita awali dari memotret cara pandang kita.

Memang, cara pandang menyikapi dunia digital berbeda-beda. Setidaknya, ada tiga pendekatan dalam memahami perkembangan teknologi komunikasi (digital). Anthony G.Wilhelm dalam “Democracy in the Digital Age: Challenge to Political Life in Cyberspace” (2000), membaginya menjadi tiga, antara lain; dystopian, neo-futuris, dan tekno-realis. Pandangan ini sepertinya bisa sedikit membantu.

Aliran Dystopian bersikap hati-hati untuk tak mengatakan curiga atau berprasangka negatif terhadap teknologi. Kelompok ini beranggapan, dampak yang ditimbulkan dari teknologi biasanya mengacaukan kehidupan sosial dan politik, Makanya, aliran ini mengkritik habis dampak negatif teknologi. Teknologi hanya membawa dampak negatif saja. Tak ada manfaat berarti.

Neo-Futuris, aliran ini merupakan refleksi dari warisan tak terkendali dari gelombang pertama futurisme. Akibat perkembangan teknologi, muncul suatu keyakinan yang tidak kritis, yaitu penerimaan terhadap hal-hal baru dan teknologi high speed. Hal-hal baru ini mempunyai kekuatan-kekuatan yang menggilas semua yang melewatinya, dan meletakkan dasar kerja masa depan dengan penuh harapan.

Tekno-Realis adalah aliran penengah antara dystopian dan neo-futuris. Aliran ini mencoba menjembatani antara pesimisme atas dampak dari teknologi dan harapan muluk masa depan ideal yang bisa dicapai dengan teknologi. Aliran ini mencoba realistis, tetapi juga tidak mengingkari adanya harapan baru di masa datang akan keberadaan teknologi komunikasi.

Sebagai aliran tengah, tekno-realis memandang, bahwa penerapan teknologi komunikası dan dampaknya dalam masyarakat sangat mungkin terjadi. Persoalannya, bagaimana kita mengantisıpasinya. Ketiga pendekatan di atas bisa membantu cara pandang kita melihat teknologi komunikasi digital yang semakin pesat saja seperti sekarang. Setidaknya, bisa menjadi alternatif pandangan. Setuju atau tidak itu lain soal.

Yang pasti. Disadari atau tidak, kini orang dipaksa menjadi digital, menjadi manusia digital. Semua orang punya dorongan kuat, diantaranya untuk selalu terlibat dalam layanan jejaring social (social networking service). Orang boleh saja hadir secara fisik, bercengkerama bersama. Tapi, tiba-tiba bisa diberhentikan sesaat (pauseable), untuk sekadar menengok media sosial, youtube dll. Yang lebih patologis, orang kemudian hadir secara fisik, tapi sebenarnya tidak hadir karena dirinya fokus ke layar gawai masing-masing. Kalau boleh jujur, itulah pemandangan kekinian yang bisa kita saksikan.

Ditambah lagi, pandemi Covid-19 mengubah semuanya. Misalnya, ketika dulu sekolah sangat anti dengan gawai. Pandemi, memaksa anak-anak sekolah, termasuk guru dan orang tua terhubung secara online. Larangan penggunaan gawai dipegang pelajar kemudian menjadi tidak relevan lagi. Hadirnya gawai ditangan pelajar, tentu kemudian tak melulu untuk kepentingan sekolah online saja. Informasi kemudian begitu meluber didapatkan lewat internet. Termasuk game online. Sementara, perihal literasi digital jarang diajarkan, dipraktikkan di lingkungan pendidikan. Hasilnya, bagi pelajar, begitu juga tak menutup kemungkinan bagi orang dewasa, dijejali banyak informasi, tapi tak banyak yang berhasil dimaknai.

Kini, yang terjadi, kita dibanjiri informasi, disaat yang bersamaan, manusia digital kehilangan kemampuan untuk mengendapkan sejenak, memikirkan, merefleksikan sehingga apa yang kita dapatkan itu bisa menjadi pengetahuan yang berharga, syukur-syukur melahirkan kebajikan (kebijaksanaan).

Seperti yang terlihat sekarang. Kita berada diera banjir informasi (information overload). Alih-alih kita mendapatkan sumber yang relevan bagi kehidupan yang lebih baik, justru yang muncul adalah kegamangan. Istilah banjir informasi ini sebenarnya telah dipopulerkan jauh hari oleh Alfin Tofler, seorang futuris, penulis buku “Future Shock” . Di mana, menurutnya, banjir informasi akan membuat seseorang justru kesulitan mengambil keputusan.

Dewdney (2006) dalam “The New Media” mengatakan bahwa ketika bicara media baru, tidak melulu tentang teknologinya, akan tetapi sangat terkait dengan konteks budaya dan praktik penggunaan medianya. Merujuk pemahaman demikian, kajian komunikasi di ranah digital tentu saja tidak melulu fokus tentang perkembangan terbaru teknologinya, justru yang lebih penting bagaimana melahirkan masyarakat yang beradab di tengah hutan belantara digital yang masing-masing penghuninya punya kencenderungan sendiri-sendiri.

Martin Heidegger, filsuf kebangsaan Jerman memandang teknologi bukan sebatas sarana, tapi suatu cara menyingkap kebenaran. Untuk menyingkap kebenaran, tentu perlu pembingkaian cara berpikir. Pertanyaan kecilnya, pembingkaian seperti apa yang bakal kita hadirkan dalam dunia digital? Nah, semua ini perlu jawaban yang memadai. Saya akan coba sedikit memberikan tawaran.

Problem bagaimana seharusnya menjadi manusia digital memang cukup menggelisahkan. Jawaban-jawaban random berbasis akal sehat rupanya kurang bisa menjawab kehausan insani dalam belantara perkembangan dunia digital. Refleksi filosofis berbasis kenabian (profetik), sekiranya perlu saya sodorkan kembali sebagai basis refleksi kritis kita dalam upaya memaknai diri sebagai manusia digital.

Menjadi manusia digital, bagi seorang muslim, menjadi lebih bermakna sebagaimana spirit dalam surat Ali-Imran ayat 110 “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”. Bahasa akademiknya, amar ma’ruf (humanisasi), nahi munkar (liberasi), beriman kepada Allah (transendensi). Menjadi manusia digital dalam perspektif kenabian (profetik) pada akhirnya merujuk kepada ketiga kemuliaan tersebut. Di sini, komunikasi profetik (berkenabian) menjadi relevan sebagai basis refleksi memaknai diri sebagai manusia digital.

Penjelasannya sederhana saja. Humanisasi bicara tentang bagaimana dunia digital benar-benar dipenuhi rasa penghargaan terhadap sesama manusia. Cinta, simpati, empati, berbagi menjadi sebuah tradisi. Nilai-nilai loving, caring, sharing dikedepankan. Liberasi artinya kita juga terlibat dalam pembebasan tatanan yang tidak adil, mendominasi, menghegemoni, berpihak pada orang tertindas dan lemah. Sementara, transendensi adalah upaya memberikan makna spiritual dalam setiap kehidupan. Termasuk kehidupan dunia digital. Menjadikan interaksi digital sebagai upaya mendekatkan diri kepadaNya, Allah SWT. Harapannya, kelak bakal melahirkan apa yang disebut dengan keadaban digital.

Dalam praktik komunikasi kontemporer, hadirnya keadaban digital sebenarnya merupakan puncak dari literasi digital. Hasil akhir yang tentu saja masih perlu terus diperjuangkan. Sementara, keadaban digital merujuk pada terbentuknya partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) di ranah digital. Sebuah gambaran besar bagaimana wajah Indonesia di ranah digital tampak sebagai masyarakat yang beradab.

Sebuah pertanyaan penting yang perlu diajukan, melihat kondisi terbaru potret masyarakat kita di ranah digital, apakah sudah mengarah kepada keadaban digital, apa malah sebaliknya, masih bar-bar? Microsoft pernah merilis survei bertajuk Digital Civility Index (DCI) 2020 yang menempatkan Indonesia pada posisi 29 dari 32 negara yang disurvei terkait tingkat kesopanan dalam berperilaku di ruang digital. Survei yang kemudian menjadikan sebagian masyarakat Indonesia tidak terima, karena menilai Indonesia tidak seperti yang digambarkan dalam survei.

Sementara, Kementerian Kominfo telah meluncurkan Indeks Literasi Digital 2021. Hasilnya, Budaya Digital mendapat skor tertinggi, Pilar Budaya Digital (digital culture) tercatat dengan skor 3,90 dalam skala 5 atau baik. Selanjutnya, Etika Digital (digital etics) dengan skor 3,53 dan Kecakapan Digital (digital skill) dengan skor 3,44. Sementara itu, pilar Keamanan Digital (digital safety) mendapat skor paling rendah (3,10) atau sedikit di atas sedang. Melihat survei yang dilakukan setiap tahun ini, Kominfo menyimpulkan bahwa budaya digital membaik, Indeks Literasi Digital Indonesia meningkat.

Merujuk kepada data di atas, tentu keadaban digital masih perlu terus diusahakan. Tapi setidaknya, kita punya kerangka pikir untuk melangkah di belantara dunia digital seperti yang saya sodorkan di atas. Agar kita tidak salah arah, agar kita tidak salah langkah. (*)

* Pengamat Komunikasi Digital. Founder Komunikasyik.com.