Moderasi Beragama

Oleh: Tarmizi Tohor

DALAM empat tahun terakhir Kemeterian Agama aktif mempromosikan pengarusutamaan moderasi beragama. Moderasi beragama adalah cara pandang kita dalam beragama secara moderat, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri.

Ekstremisme, radikalisme, ujaran kebencian (hate speech), hingga retaknya hubungan antarumat beragama, merupakan problem yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini. Sehingga, adanya program pengarusutamaan moderasi beragama ini dinilai penting dan menemukan momentumnya.

Bentuk ektremisme terjewantahkan dalam dua bentuk yang berlebihan. Dua kutub yang saling berlawanan. Satu pada kutub kanan yang sangat kaku dalam beragama. Memahami ajaran agama dengan membuang jauh-jauh penggunaan akal.

Sementara di pihak yang lain justru  sebaliknya, sangat longgar dan bebas dalam memahami sumber ajaran Islam. Kebebasan tersebut tampak pada penggunaan akal yang sangat berlebihan, sehingga menempatkan akal sebagai tolak ukur kebenaran sebuah ajaran.

Kelompok yang memberikan porsi berlebihan pada teks, namun menutup mata dari perkembangan realitas cenderung menghasilkan pemahaman yang tekstual. Sebaliknya, ada sebagian kelompok terlalu memberikan porsi lebih pada akal atau realitas dalam memahami sebuah permasalahan. Sehingga dalam pengambilan sebuah keputusan, kelompok ini justru sangat menekankan pada realitas dan memberikan ruang yang bebas terhadap akal.

Retaknya hubungan antarpemeluk agama di Indonesia saat ini, menurut Nafik Muthohirin (Sindo, 7 Mei 2018), dilatarbelakangi paling tidak oleh dua faktor dominan: pertama, populisme agama yang dihadirkan ke ruang publik yang dibumbui dengan nada kebencian terhadap pemeluk agama, ras, dan suku tertentu.

Kedua, politik sektarian yang sengaja menggunakan simbol-simbol keagamaan untuk menjustifikasi atas kebenaran manuver politik tertentu sehingga menggiring masyarakat ke arah konservatisme radikal secara pemikiran. Populisme agama itu muncul akibat cara pandang yang sempit terhadap agama, sehingga merasa paling benar dan tidak bisa menerima ada pendapat yang berbeda.

Kedua faktor tersebut berikatan satu sama lain. Keduanya sama-sama dihadirkan ke ruang publik dalam rangka kepentingan politik praktis, di mana pada sisi yang lain mengorbankan nalar sehat masyarakat beragama. Sebab, tidak ada doktrin agama yang mengajarkan kebencian, kekerasan dan pengkafiran hanya karena perbedaan pilihan politik. Dampak buruk yang kita rasakan sekarang adalah menunggu aksi-aksi kebencian ini menjalar dari dunia maya ke dunia nyata.

Beruntung, Indonesia selalu selamat dari ancaman perpecahan karena bisa ditekan dan dihindari sehingga tidak sampai berujung pada pertikaian fisik dan menjalar ke tingkat yang lebih luas. Terkait hal ini selain karena hadirnya negara, ancaman perpecahan dapat dihindari karena peran sejumlah kelompok civil society seperti ormas Islam NU dan Muhammadiyah sebagai ormas terbesar yang sedari awal berdiri sudah berwatak moderat.

Menjadi moderat bukan berarti menjadi lemah dalam beragama. Menjadi moderat bukan berarti cenderung terbuka dan mengarah kepada kebebasan. Keliru jika ada anggapan bahwa seseorang yang bersikap moderat dalam beragama berarti tidak memiliki militansi, tidak serius, atau tidak sungguh-sungguh, dalam mengamalkan ajaran agamanya.

Kesalahpahaman terkait makna moderat dalam beragama ini berimplikasi pada munculnya sikap antipati masyarakat yang cenderung enggan disebut sebagai seorang moderat, atau lebih jauh malah menyalahkan sikap moderat.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (LHS) dalam berbagai kesempatan sering mengatakan bahwa moderasi beragama adalah sebuah jalan tengah dalam keberagaman agama di Indonesia. Ia adalah warisan budaya Nusantara yang berjalan seiring, dan tidak saling menegasikan antara agama dan kearifan lokal (local wisdom).

Masih menurut LHS, moderasi juga mengharuskan kita merangkul bukan memerangi kelompok ekstrem; mengayomi dan menemani. Maka prinsip dalam mengembangkan moderasi yang dipegang adalah dakwah kita, yakni menyampaikan dakwah dengan bil khikmah wal mauidhah hasanah, dengan atau dengan cara-cara yang baik. Bahasa agama itu bahasa yang memanusiakan manusia dengan cara yang persuasif.

Oleh karena pentingnya keberagamaan yang moderat, maka menjadi penting juga bagi kita semua menyebarluaskan paham ini. Jangan biarkan Indonesia menjadi bumi yang penuh dengan permusuhan, kebencian, merasa paling benar sendiri, dan pertikaian. Kerukunan baik dalam umat beragama maupun antarumat beragama adalah modal dasar bangsa ini menjadi maju.

Akan tetapi, kerukunan dilakukan tidak dengan cara-cara Orde Baru yang merekatkan kerukunan antarumat beragama melalui pendekatan politik, mengontrol jalannya relasi umat beragama dengan alat-alat kekuasaan sehingga ketika rezim tersebut tumbang, konflik bersentimen SARA bermunculan (Ibnu Mujib dan Yance Z Rumahuru, 2010:1).

Harusnya membangun kerukunan lebih didasarkan pada kesadaran doktrinal dan kultural, yaitu selain karena doktrin setiap agama yang mengajarkan pada nilai-nilai toleransi, juga atas keinginan yang sama untuk hidup dalam bonsai perdamaian.

Esensi ini yang diinginkan oleh moderasi beragama karena sesungguhnya beragama secara moderat sudah menjadi karakteristik umat beragama di Indonesia dan lebih cocok untuk kontur masyarakat kita yang majemuk. Beragama secara moderat adalah model beragama yang telah lama dipraktikkan dan tetap diperlukan pada era sekarang.

Maka, cara memperlakukan pesan penting moderasi beragama ini mestinya tidak cukup bila hanya dipromosikan, melainkan perlu didesakkan sebagai aksi bersama seluruh komponen bangsa baik pemerintah maupun kelompok agama agar ekstremisme dan kekerasan atas dasar kebencian kepada agama dan suku yang berbeda bisa ditekan dan dihilangkan. Semoga, Wallahu a’lam bis shawab. (*)

*Sekretaris Ditjen Bimas Islam