Korupsi

Oleh: Adam Setiawan

Marcus Tullius Cicero pernah berujar sebagai berikut “Salus Populi Suprema Lex Esto”
yang artinya adalah keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi. Jika ditautkan dengan tujuan berdirinya suatu negara adalah untuk menciptakan keamanan, ketertiban dan mengusahakan kesejahteraan serta kemakmuran rakyat.

Dalam konteks ini negara dengan organ-organ yang dimiliki, mempunyai peran melalui tugas dan fungsinya masing-masing untuk menciptakan keamanan, ketertiban dan mengusahakan kesejahteraan serta kemakmuran rakyat. Keselamatan dan kemakmuran rakyat merupakan tujuan utama bernegara.

Di negara Indonesia tujuan tersebut termaktub dalam alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang bunyinya “membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia… untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial” lebih tegas.

Namun seperti yang kita ketahui, pada tataran implementasi atau secara realitas azas “Salus Populi Suprema lex Esto” tidak sepenuhnya direalisasikan bahkan asumsi yang ekstrim menyatakan bahwa hal itu hanyalah suatu mimpi belaka. Manakala kita amati secara cermat seluruh tindak tanduk pemerintah yang cenderung melakukan anomali perilaku yang salah satunya adalah penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) selaras dengan hal tersebut.

Lord Acton telah memperingatkan bahwa kekuasaan sangat potensial untuk disalahgunakan sebagaimana diungkapkannya “Power tends corrupt, but absolute power corrupts absolutely”. Dalam hal ini pemerintah acapkali merugikan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung.

Oleh karenanya masyarakat kadangkala harus vis a vis dengan pemerintah untuk
memperjuangkan haknya yang telah dilanggar oleh pemerintah. Hal ini didukung dengan
fakta-fakta di lapangan.

Pertama, ikhtiar Lembaga Anti Rasuah (KPK) yang telah menetapkan 22 anggota DPRD
Kota Malang sebagai tersangka penerima suap. Rombongan wakil rakyat itu menyusul 19
rekannya yang lebih dulu dijerat. Penetapan 22 anggota DPRD Kota Malang tersebut
merupakan tahap ketiga. Hingga saat ini, dari total 45 anggota DPRD Kota Malang, ada 41
anggota yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Mereka diduga menerima uang dengan jumlah kisaran Rp 12,5 juta hingga Rp 50 juta yang berasal dari Wali Kota Malang nonaktif Moch Anton, yang juga telah menjadi tersangka. Duit itu diduga diberikan Anton terkait pengesahan RAPBD kota Malang tahun 2015.

Kedua, selain anggota DPR yang terlibat dalam kasus korupsi hal serupa juga menimpa dan
mencoreng nama baik ranah eksekutif sebagaimana tren yang mengarahkan pada rajinnya
kepala daerah ditangkap karena kasus korupsi. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh
lembaga antirasuah (KPK), hingga saat ini terdapat 98 kepala daerah yang sudah diproses
dalam 109 perkara korupsi dan pencucian uang.

Selanjutnya sejak Januari hingga pertengahan Juli 2018, sebanyak 19 kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka. Dari jumlah itu, 15 di antaranya berawal dari operasi tangkap tangan. Sebagai contoh, Komisi Pemberantasan Korupsi yang telah menangkap Bupati Bekasi Neneng Hassanah Yasin. Neneng ditangkap setelah ditetapkan sebagai tersangka. Neneng diduga menerima suap terkait proyek perizinan proyek pembangunan Meikarta di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat.

Dengan banyaknya wakil rakyat dan kepala daerah yang terjerat kasus korupsi telah membuat rasa kepercayaan masyarakat khususnya para konstituen semakin terkikis dan
tentunya secara tidak langsung telah merugikan kepentingan rakyat. Berdasarkan logika
wakil rakyat dan kepala daerah mendapatkan mandat secara langsung untuk mewakili dan
melayani kepentingan rakyat namun dalam praktiknya mereka acapkali melanggar etika dan norma hukum yang berlaku, sebagaimana contoh kasus yang telah diuraikan sebelumnya.

Tentunya hal tersebut telah menunjukan perilaku yang tak etis bahkan hal tersebut
kontradiktif dengan azas “Salus Populi Suprema lex esto”. Wajar saja apabila rakyat skeptis
manakala anggota DPR/DPRD dan Kepala Daerah menjalankan tugas dan fungsinya.
Selain perilaku koruptif yang menjangkit oknum penyelenggara pemerintahan yang tentunya kontradiktif dengan azas “Salus Populi Suprema lex Esto”, ada hal vital lainnya yang telah mereka abaikan sehingga azas “Salus Populi Suprema lex Esto” dirasa tak pernah benar-benar direalisasikan yaitu dalam hal menjalankan tupoksi sebagaimana mestinya.

Sebagai contoh, parlemen (DPR/DPRD) dalam hal ini memiliki beberapa fungsi yang di
antaranya adalah fungsi legislasi, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 20 A ayat 1 UUD NRI 1945 yang bunyinya Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.

Akan tetapi pada tataran implementasinya fungsi legislasi seakan terpasung tak bisa bergerak diakibatkan adanya tarik menarik kepentingan dari para pelaku politik yang berada di parlemen bahkan tragisnya fungsi legislasi cenderung terlupakan karena adanya kepentingan di luar konteks mewakili rakyat di parlemen, seperti persiapan menghadapi pemilu tahun 2019, yang pelaksanaan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden dilaksanakan secara serentak.

Selain itu terkait peran Presiden dalam proses legislasi dianggap terlalu jauh. Sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 20 ayat 2, setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.

Berdasarkan bunyi redaksi pasal tersebut dapat kita asumsikan bahwa jikalau DPR tidak
menyetujui rancangan undang-undang yang berasal pemerintah atau sebaliknya Presiden
menolak rancangan undang-undang yang diusulkan oleh DPR, oleh karenanya undang-
undang tidak akan dihasilkan.

Dalam hal ini memicu anomali dalam penyelenggaraan pemerintahan mengenai fungsi legislasi dikarenakan ego masing-masing lembaga. Dengan demikian hipotesis yang dapat kita terima adalah bahwa unsur kepentingan dari para pelaku politiklah yang mengakibatkan asas “Salus Populi Suprema lex Esto” jadi terlupakan sehingga tujuan utama negara tak dapat diwujudkan secara nyata dan berkelanjutan. (*)

Penulis adalah mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia