PN Tangerang

Kastara.id, Jakarta – Dengan modus tertentu, empat dari tujuh orang yang terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah resmi menyandang status sebagai tersangka kasus korupsi (suap). Mereka terdiri dari satu orang panitera penganti, satu orang hakim dan dua orang advokat.

Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengatakan, meningkatnya status keempat orang tersebut yang diketahui bernama Tuti Atika (TA) yang merupakan panitera pengganti, Wahyu Widya Nurfitri (WWN) hakim pada Pengadilan Negeri Tangerang, HM Saipudin (HMS) selaku advokat, dan Agus Wiratno (AWN) yang juga merupakan advokat sebagai tersangka setelah diadakan gelar perkara dan pemeriksaan secara intensif.

WWN dan TA disangkakan Pasal 12 huruf c atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,” ujar Basaria dalam konferensi pers di kantornya Selasa (13/3) malam.

Basaria menjelaskan, kasus ini sendiri berawal dari adanya laporan masyarakat. Hal yang cukup menarik yaitu pihaknya tidak hanya satu kali ini saja mendapat laporan tentang dugaan korupsi yang dilakukan hakim Widya. KPK, kata Basaria, telah beberapa kali mendapat laporan serupa.

“Informasi dari masyarakat tidak hanya satu kali saja dilakukan yang bersangkutan. Kemudian dilakukan penyelidikan setelah sebelumnya mempunyai data yang cukup,” ujar Basaria.

Modus yang dilakukan oleh Hakim Widya yaitu menunda proses putusan. Basaria pun menceritakan kronologis dari perkara ini yang dimulai dari adanya komunikasi antara Tuti selaku panitera pengganti dan Agus sebagai advokat terkait perkara gugatan perdata wanprestasi dengan nomor perkara 426/pdt.g/2017/PN Tangerang dengan Tergugat Hj. M, dengan permintaan agar ahli waris mau menandatangani akta jual beli melalui pemberian pinjaman hutang.

Sidang pembacaan putusan seharusnya dilakukan pada 27 Februari 2018, tetapi ditunda hingga 8 Maret 2018 dengan alasan panitera pengganti sedang umrah. Tuti kemudian memberi informasi kepada Agus jika gugatan yang dilayangkan kliennya akan ditolak.

“Lalu AGS mengupayakan gugatan dimenangkan. Sehingga pada 7 Maret AGS atas persetujuan HMS bertemu TA di PN Tangerang mengantarkan uang Rp 7,5 juta untuk diserahkan ke TA dan WWN sebagai ucapan terima kasih. Namun uang kurang, lalu disepakati Rp 30 juta, kekurangan akan diberikan,” jelas Basaria.

Namun hingga waktu yang ditentukan Agus belum menyerahkan uang dan akhirnya sidang putusan kembali ditunda hingga 13 Maret 2018, atau hari ini. Alasan yang digunakan yaitu salah satu anggota majelis sedang berada di luar kota.

Agus pun memenuhi janjinya sehari sebelum sidang putusan yaitu pada 12 Maret 2018 sekitar pukul 16.15 WIB dengan membawa sisa uang sebesar Rp 22,5 juta dengan menggunakan amplop berwarna putih. Namun belum juga diserahkan, ia sudah terlebih dahulu ditangkap petugas KPK yang telah menunggunya.

“Lalu tim ke Kebon Jeruk mengamankan HMS, tim lain ke bandara Soekarno-Hatta untuk amankan WWN baru sampai Jakarta setelah dari Semarang pada pukul 20.30 WIB,” terang Basaria.

Komisioner perempuan pertama lembaga antirasuah ini juga memastikan tidak ada keterlibatan klien dari Agus dan Saipudin dalam perkara ini. Alasannya uang suap tersebut memang berasal dari advokat, bukan dari klien sebab mereka mengincar imbalan keberhasilan jika bisa memenangkan perkara ini.

Informasi yang diperoleh, Saipudin dan Agus merupakan advokat dari Kantor Hukum Jokusa & Associates, yang beralamat di Jalan Panjang Arteri Raya Pos Pengumben No. 68, Kebon Jeruk, Jakarta Barat.

“(Duit) Murni dari pengacara, dari hasil penyidikan ada kesepakatan antara pemilik tanah ada success fee mendapat 40-60, maka sebabnya advokat ini berusaha semaksimal mungkin memenangkan perkaranya. Tidak ada dari yang berperkara, karena ini success fee,” tegasnya. (npm)