Jakarta

Oleh: M. Nigara

TIDAK terkejut, ha.. ha.. ha.. Itu reaksi saya ketika menantu saya memberi tahu bahwa Prabowo dan Jokowi bertemu di MRT, Sabtu (13/7). Ups, jangan marah, ini hanya …….

Jumat (12/7) malam, puluhan Emak-Emak militan, pendukung Prabowo yang paling depan datang bertandang. Mereka Emak-Emak yang ikhlas. Pendukung yang terpanggil bukan dipanggil. Emak-Emak yang tulus memberi segalanya. Bukan dengan modus akal bulus menerima nasi bungkus. Emak-Emak yang rela berjuang bahkan kabarnya sampai ada yang dipecat dari tempat kerjanya hanya karena mendukung.

Dan Emak-Emak ini, pasti bukan poros ke-3 seperti difitnahkan oleh sempalan di 02. Emak-Emak ini betulan memberi bukan menerima. Maaf juga, jika dihitung nominalnya, sumbangsih Emak-Emak itu saya yakin jauh lebih besar ketimbang siapa pun. Lagi-lagi maaf, bahkan dari Prabowo sekalipun.

Mereka menangis, meminta agar orang yang mereka yakini akan membawa perubahan untuk tidak bertemu dengan Jokowi. “Seandainya saya juga bertemu dengan bapak Presiden Jokowi.., ” kalimat Prabowo yang berdiri di pintu mobilnya dipotong oleh Emak-Emak dengan kalimat singkat: “Jangan pak, jangaaaan!” Lalu terdengar suara isak tangis Emak-Emak.

Tak Peduli?

Tak sampai 24 jam, tangisan dan harapan Emak-Emak militan yang begitu dahsyat, datang dan menyampaikan seluruh harapnya, lalu ternyata harapan itu menguap seperti embun. Emak-Emak terkejut, pasti. Emak-Emak terhenyak, pasti. Tiba-tiba saja, tawa lepas Prabowo di MRT, seperti melupakan tangis Emak-Emak yang tulus. Sungguh tawa itu, bak pisau menikam hingga ke ulu hati. Sakit rasanya. Pedih, bak sembilu yang menggores jiwa.

Namun, meski juga ikut merasakan derita Emak-Emak, saya tidak terkejut. Alhamdulillah, saya sudah tahu bahwa pertemuan itu justru pasti terjadi. Pertemuan itu ternyata bukan hanya diinginkan oleh Jokowi, tampaknya Prabowo pun mengidamkannya.

Dari sumber yang sangat layak dipercaya, dalam rapat pembubaran koalisi, Prabowo sudah menyatakan tekadnya untuk bertemu. Hanya saja waktu itu, ia masih agak malu-malu. Tapi intinya jelas, mau bertemu.

Padahal, banyak peserta rapat menolak ide itu. Bahkan ada yang dengan nada agak keras mengingatkan bahwa perjuangan Emak-Emak tidak boleh dinafikan. Korban tewas tidak sedikit, bahkan ada tiga remaja tak berdosa.

Tapi, sekali lagi Prabowo tetap pada pendiriannya. Ia tetap memberikan sinyal amat kuat untuk bertemu. Katanya sih untuk strategi perjuangan. “Berjuang itu bisa dari luar, bisa pula dari dalam,” katanya, masih menurut sumber itu.

Jadi, meski Emak-Emak militan mau berdemo sambil nangis Bombay sampai kejang-kejang, saya yakin pertemuan itu akan terjadi. Dari banyak info, beredar juga alasan di balik pertemuan. Isinya macam-macam. Mulai dari yang masuk akal hingga yang konyolan. Namun karena sesuatu hal, dan menghindari fitnah, saya terpaksa tidak menuliskannya. Hanya saja, info tadi membuat keyakinan saya semakin tinggi bahwa pertemuan pasti akan terjadi. Akhirnya terjadilah. Segalanya benar- benar terjadi. Blaaaasss…

Salahkah pertemuan itu? Menurut hemat saya tidak ada yang salah. Kecewakah kita? Jawabnya juga bisa iya, bisa tidak. Jadi?

Ha… ha…, saya terpaksa tertawa. Maaf, jangan marah. Kitalah yang salah karena terlalu percaya diri bahwa Prabowo sama dengan kita. Kita yang berlebihan menaruh harap padanya. Kita juga yang keliru karena tak pernah punya ragu.

Sekali lagi, ini pasti bukan poros ke-3, seperti fitnah yang terus dibangun oleh penulis orderan. Kita, utamanya Emak- Emak itu, tidak butuh apa-apa dari Prabowo. Mereka hanya butuh perubahan. Siapa pun yang bisa membawa perubahan kearah lebih baik, pasti utuh kita dukung. Nah, Prabowo memberi harapan itu.

Korban sia-sia

Seorang sahabat tegas berujar: “Kalau ujungnya seperti ini, kenapa tidak terima saja tawaran untuk berpasangan dengan Jokowi?”

Lho, masak iya sih? Ya, dari sumber yang sangat layak dipercaya, Prabowo pernah berkisah bahwa dia ditawari oleh … (dia menyebut tiga nama), ada dua opsi. Pertama, dia diminta untuk tidak maju, Prabowo juga menyebut … (maaf sahabat saya meminta untuk tidak dirinci). Lalu, opsi kedua, dia ditawari berpasangan dengan Jokowi. Alasannya sangat sederhana dan masuk akal, jika berpasangan, maka akan terjadi aklamasi. Karena menurut kubu petahana, hanya Prabowo yang bisa mengalahkannya. Faktor dukungan umat 212 dan umat islam serta umat- umat yang lain, makin terasa besar. Ini berbahaya, untuk itu harus diredam dengan cara digandeng.

Hebatnya, dia menolak. Alasan yang dikemukakan sangat heroik. “Negeri kita harus merdeka dari asing dan aseng!” Nah, dalam kampanye, pernyataan itulah yang dilontarkan dan disambut hangat oleh mayoritas rakyat luas.

Sekali lagi sahabat saya bertutur, kalau ujungnya seperti ini, untuk apa dia maju? Kalau ujungnya seperti ini, kan harusnya dia menerima satu dari dua opsi itu? Kalau opsi itu diterima, maka tak akan ada korban-korban jiwa. Tak perlu ratusan anggota KPPS berkorban nyawa. Kalau ujungnya hanya segitu, ngapain juga maju ke MK? Mungkin ada sejuta makna kalau ujungnya bisa diutarakan.

Untuk menutup tulisan ini, saya ingin menanggapi video Ustadz Bachtiar Nasir (UBN). Sang ustadz berkisah tentang strategi Rasulallah berdamai dengan kaum Quraisy. “Agar umat Islam bisa ibadah umrah dengan tenang, maka rasul memilih berdamai. Padahal umat Islam sedang kuat-kuatnya,” kata UBN.

“Waktu itu para sahabat marah, tapi Rasulallah hanya tertawa. Dan umat Islam akhirnya bisa beribadah dengan tenang!” UBN menutup dengan menekankan kekuatan perdamaian.

Begini ustadz, apa yang antum kisahkan tidak ana bantah, semua betul. Tapi jika maksud antum menganalogikannya dengan hal Prabowo-Jokowi, maaf gak pas sama sekali. Maaf ya ustadz. Rasulallah berdamai untuk ibadah, tapi yang ini… ? Silakan tafsirkan sediri saja untuk apa.

Begitu, kisah yang harus saya buka dan tutup dengan tawa. Maaf, ha… ha… ha….

Hanya kepada Allah Subhanahu Wa’taala kita berserah diri. Aamiin. (*)

*Wartawan Senior