Oleh: Muhammad AS Hikam

 

Sampai status ini ditulis (Minggu, 14 Agustus 2016, 18.49 WIB), permasalahan terkait status kewarganegaraan Menteri ESDM, DR Arcandra Tahar, masih belum menemukan titik terang, atau telah memberikan kepuasan kepada publik. Polemik mengenai persoalan tersebut masih terus berlangsung di media dan medsos. Hemat saya, salah satu penyebab utama mengapa polemik dan, bahkan, potensi kegaduhan publik terjadi, karena Pemerintah tidak segera mengambil sikap dengan menjelaskan secara terbuka, rinci, dan tuntas. Pihak yang menjadi bahan perbincangan, atau Arcandra Tahar, sudah memberikan klarifikasi bahwa status kewarganegaraannya tetap WNI, dan bahwa paspor beliau masih berlaku sampai 2017. Sayangnya penjelasan Pemerintah melalui Mensesneg Pratikno masih dianggap tidak tuntas.

Saya melihat ada tiga perspektif yang digunakan untuk menyikapi isu kewarganegaraan Arcandra Tahar ini:

1) Perspektif pragmatis dan taktis politis;

2) Perspektif strategis politis; dan

3) Perspektif hukum, khususnya kewarganegaraan.

Perspektif pertama dipakai oleh mantan Kepala BIN Hendropriyono. Sedangkan perspektif kedua digunakan oleh politisi dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Dan perspektif ketiga digunakan oleh Denny Indrayana, mantan Wamenkumham era Presiden SBY, serta Mahfud MD, mantan Ketua MK.

Perspektif pragmatis dan taktis politis menitikberatkan kepada kepentingan negara melakukan perekrutan pejabat negara yang memiliki kualitas, profesionalisme, serta kapasitas unggulan yang diakui internasional sehingga mampu mendukung kepentingan nasional serta Pemerintah Indonesia. Arcandra Tahar dianggap memenuhi kriteria tersebut, dan beliau merupakan aset bangsa yang patut dibanggakan dan diperlukan negara.

Persoalan terkait kewarganegaraan ganda, solusinya juga pragmatis politis. Menurut Hendropriyono, Arcandra Tahar “sudah memilih Indonesia, maka paspor AS-nya harus diserahkan kepada pihak pemberi paspor yaitu imigrasi AS”. Persoalan yang terkait hukum kewarganegaraan dan implikasinya dianggap tidak menjadi persoalan yang perlu diperdebatkan.

Pandangan ini bertolak belakang dengan perspektif strategis politis Hasto Kristiyanto yang menganggap kewarganegaraan Arcandra Tahar sebagai masalah ‘fundamental’ yang “terkait dengan kedaulatan negara, dan pentingnya ketaatan tunggal bahwa Indonesia tidak mengenal warga negara ganda”. Lebih jauh, persoalan ini berimplikasi politik yang strategis, karena terkait kepentingan-kepentingan antarnegara terkait dengan sumber daya alam Indonesia.

Menurut Hasto Kristiyanto “selalu ada pihak-pihak tertentu yang berkolaborasi dengan kepentingan asing untuk mencoba menguasai kekayaan Indonesia dengan segala cara. Apalagi dalam waku dekat juga akan dilakukan negosiasi terhadap penguasaan blok minyak, gas, batubara, dan berbagai mineral lainnya”. Konsekuensinya, jika pejabat negara memiliki kewarganegaraan ganda, maka “akan merancukan dedikasi warga negara Indonesia terhadap bangsa dan negara”.

Solusi yang diajukan Hasto Kristiaynto adalah “tindakan investigasi untuk memastikan bahwa Arcandra Tahar memang tidak pernah memiliki kewarganegaraan Asing”.

Dari perspektif hukum kewarganegaraan, masalah ini juga dianggap sebagai fundamental, karena menurut Mahfud MD, “selain menyangkut konstitusionalitas dan legalitas, (masalah ini) juga menyangkut kedaulatan negara”.

Menurut Denny Indrayana, kasus Arcandra Tahar ini memiliki implikasi hukum dan politik. Secara hukum jika Arcandra Tahar pernah menjadi warga negara AS sebelum diitunjuk menjadi menteri, maka menurut Pasal 23 UU Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006, ia telah kehilangan status kewarganegaraan RI dan karenanya tidak bisa diangkat sebagai pejabat negara. Bahkan kalaupun seandainya Arcandra Tahar ingin kembali menjadi WNI, syaratnya juga tidak semudah yang dikemukakan oleh Hendropriyono di atas.

Masih menurut Denny Indrayana, Menteri ESDM itu “harus mengajukan permohonan kembali sebagai WNI, tinggal di Indonesia selama 5 (lima) tahun terakhir, dan mengucapkan sumpah janji setia kembali kepada Indonesia”. Mengingat Arcandra Tahar konon telah tinggal selama 20 tahun di Amerika Serikat, maka “syarat untuk kembali menjadi WNI demikian menjadi tidak terpenuhi”.

Solusi kedua pakar hukum tersebut mirip dengan Hasto Kristiyanto, yaitu segera ada kejelasan dari Arcandra Tahar dan dari Pemerintah Presiden Jokowi, karena implikasi politik yang akan muncul juga signifikan bagi beliau.

Saya pribadi lebih cenderung menggunakan dua perspektif terakhir tersebut, gabungan antara perspektif strategis politis dan hukum. Perspektif pragmatis politis, bisa saja efektif dalam jangka pendek, tetapi tidak akan bermanfaat dalam jangka panjang serta akan menciptakan kegaduhan politik yang berkesinambungan. Pemerintahan Presiden Jokowi masih harus bersikap dan bertindak hati-hati dalam memelihara stabilitas dan soliditas internal. Penyikapan yang jernih dan berjangka panjang saya kira akan lebih tepat. Dan untuk itu memberikan penjelasan secara rinci dan akurat serta terbuka kepada publik adalah solusi terbaik, bukan saja bagi Arcandra Tahar dan Pemerintah, tetapi juga bagi bangsa dan NKRI.

Wallahua’lam.