Hewan Kurban

Oleh: Mastuki HS

TIGA hari pasca perayaan Idul Adha 10 Dzulhijjah 1440H, di berbagai lokasi tampak umat Muslim masih menyelenggarakan penyembelhan hewan kurban, yakni di hari tasyriq (11-13 Dzulhijjah). Sebagai rangkaian selebrasi pada momentum besar bernama Idul Adha, penyembelihan hewan kurban akhir-akhir ini, terutama nampak pada fenomena perkotaan, makin meningkat baik jumlah pekurban, banyaknya jasa yang menawarkan hewan kurban, kepanitiaan khusus untuk penyembelihan hewan kurban, maupun tata cara penyelenggaraannya yang makin baik.

Peningkatan ini barangkali ada kaitan dengan ghirah keagamaan masyarakat kota yang dalam dua-tiga dasawarsa ini makin menunjukkan kecenderungan membaik, setidaknya dari tampilan simbol-simbol keislaman seperti tren berpakaian muslim (moslem fashion), ramainya masjid di saat perayaan hari besar, meningkatnya jumlah orang yang berumrah atau ibadah haji, sampai fenomena artis berhijrah, pengajian online, bank syariah, halal food, moslem friendly tourism, dan sebagainya.

Idul Adha merupakan gabungan dari kata idul dan adha. Id terambil dari bahasa Arab aada (yauudu) yang artinya kembali. Sedang Adha merupakan jamak dari adhat yang berasal dari kata udhiyah yang artinya kurban. Jadi Idul Adha dapat diartikan kembali berkurban atau hari raya penyembelihan hewan kurban.

Di Indonesia, orang menyebut ‘idul qurban, hari raya kurban, atau lebaran haji. Idul Adha menandai dua selebrasi rutin (annual celebration) umat Islam yang khas-unik: pertama, penyelenggaraan ibadah haji dan kedua, ibadah kurban. Bagi muslim yang berkesempatan menunaikan ibadah haji, kurban merupakan bagian dari prosesi haji. Namun bagi muslim di tanah air, 10 Dzulhijjah diperingati dengan melaksanakan shalat Id berjemaah dilanjutkan hari itu juga, dan hari tasyriq dengan menyembelih hewan kurban.

Disyariatkannya kurban mengacu pada beberapa dalil, baik Quran maupun Sunnah.

“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syari’atkan penyembelihan (kurban) supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dirizqikan Allah kepada mereka”. (QS. Al-Hajj : 34)

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah, sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus” . (QS : al-Kautsar:1-3)

“Hai manusia, sesungguhnya atas tiap-tiap ahli rumah pada tiap-tiap tahun disunatkan berkurban”. (HR. Abu Dawud)

“Dari Abi Hurairah sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang mempunyai kemampuan tetapi tidak berkurban, maka janganlah ia menghampiri tempat shalat kami”. (HR. Ahmad dan Ibn Majah)

Dari dalil nash tersebut, menurut jumhur ulama, hukum kurban ialah sunnah muakkadah dan bukan wajib. Namun menurut Abu Hanifah hukum kurban wajib, karena menurutnya suatu perintah menuntut adanya kewajiban. Istilah wajib di sini menurut Abu Hanifah kedudukannya sedikit lebih rendah dari pada fardlu, dan lebih tinggi daripada sunnah. Karena hukumnya wajib, berdosa orang yang meninggalkannya jika ia tergolong orang yang mampu.

Hewan Kurban: Antara Syariat dan Manfaat Sosial
Aturan syariat berkenaan dengan tata cara penyembelihan hewan kurban ini begitu detil. Menyangkut persyaratan siapa yang boleh menyembelih kurban, tata cara menyembelihnya, syarat hewan yang akan dijadikan kurban, bagaimana memperlakukan hewan kurban, apa yang boleh dan dilarang selama penyembelihan berlangsung, hingga siapa yang berhak menerima daging kurban. Aturan-aturan fiqhiyah demikian, kini mendapat justifikasi saintifik (ilmiah) bahwa penyembelihan hewan kurban yang disyariatkan Islam itu sesuai dengan kaidah keilmuan dan hukum perdagangan hewan secara internasional.

Salah satu hikmah kurban adalah penyediaan daging hewan yang halal bagi masyarakat. Selain tata cara penyembelihan kurban yang harus memenuhi unsur kehalalan, daging bagi kebanyakan masyarakat adalah kebutuhan utama untuk konsumsi. Sebagian besar dari kita pasti menyukai daging. Bahkan olahan daging menjadi jenis kuliner yang digemari masyarakat. Mulai dari bakso, sate, abon, sosis, nugget, dendeng, hingga steak. Berbagai penganan yang beredar dan dikonsumsi masyarakat berasal dari bahan hewani.

Ada banyak manfaat daging bagi tubuh manusia. Pertama, daging sebagai sumber protein yang sangat penting untuk memperbaiki dan membangun jaringan, produksi antibodi serta menguatkan sistem imun tubuh sehingga kita tak mudah sakit. Daging juga mengandung asam amino esensial, karena itu daging boleh dibilang sebagai sumber protein terbaik. Kedua, sumber mineral, terutama kandungan zat besi, zinc, dan selenium berfungsi membantu pembentukan sel darah merah, pembentukan jaringan dan metabolisme, juga memecah lemak dan zat-zat kimia dalam tubuh. Manfaat ketiga, daging ternyata kaya vitamin. Vitamin A, B, dan D dalam daging bisa menyehatkan penglihatan, menguatkan gigi, tulang, serta menyokong sistem saraf. Manfaat lain dari konsumsi daging adalah menjaga kesehatan kulit dan mental.

Melihat betapa besarnya manfaat daging bagi tubuh manusia itulah maka syariat Islam sangat peduli dengan proses penyediaan daging halal mulai dari hulu, yakni sejak penyembelihan. Juru sembelih (jagal) wajib memiliki syarat dan mengerti tata cara menyembelih hewan. Saat ini banyak pelatihan juru sembelih bersertifikat. Bahkan di kalangan para juru sembelih ini ada asosiasi juru sembelih halal (juleha).

Tempat atau lokasi penyembelihan harus memenuhi syarat kebersihan, pemisahan lokasi penampungan hewan dan pemotongan, pencacahan dan pembungkusan. Juga memastikan ruang sembelih tidak terlihat oleh hewan yang belum disembelih.

Pemotongan hewan kurban juga perlu memperhatikan kondisi fisik dan psikologis hewan. Ada lubang yang menampung darah, balok penyangga leher, alas yang bersih dan keras, kain penutup di daerah pemotongan, dan menggunakan alat yang tajam. Hindari hewan stress saat pemotongan karena berakibat kualitas daging akan buruk dan rasanya kurang nikmat.

Para ulama sepakat, hewan kurban (kambing/domba, sapi dan unta –bahimatul an’am) harus memenuhi syarat yakni a) telah tanggal dan berganti gigi surinya atau yang lebih tua dari itu, berdasarkan hadits: “Dari Jabir berkata: bersabda Rasulullah SAW janganlah kamu menyembelih untuk kurban melainkan yang “musinnah” (berumur dua tahun), jika kamu sukar memperolehnya maka sembelihlah hewan yang berumur satu tahun”. (HR. Jama’ah selain Bukhari). Yang dimaksud dengan musinnah ialah: kalau kambing dan sapi telah sempurna berumur dua tahun, masuk tahun ke tiga. Kalau unta telah sempurna berumur lima tahun atau masuk tahun ke enam.

Syarat lain b) hewan yang dijadikan kurban harus sehat, bagus, bersih dan enak dipandang mata, memiliki tanduk, mempunyai anggota tubuh yang lengkap, tidak ada cacat seperti: pincang, buta, kurus, sakit, majnun (stress), rusak kulit, terpotong sebagian kupingnya, dan sebagainya. Diterangkan dalam hadits: “Dari Bara’ Ibn ‘Azib berkata: Rasulullah SAW bersabda: Empat macam binatang yang tidak boleh dijadikan binatang kurban, yaitu yang buta lagi jelas kebutaannya, yang sakit lagi jelas sakitnya, yang pincang lagi jelas kepicangannya dan binatang yang kurus kering dan tidak bersih”. (HR Abu Dawud dan Ibn Majah)

Kenapa hewan kurban itu harus bagus bahkan sempurna? Karena kurban adalah bagian ibadah kepada Allah, wujud ketakwaan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Maka hewan yang dipersembahkan kepada Allah SWT hendaklah hewan yang benar-benar sehat, bagus, tidak cacat, dan enak dipandang mata.

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya” (Al-Hajj:37).

Kurban dan Standar Halal
Betapa bagusnya kalau standar penyembelihan hewan kurban ini diterapkan pada semua penyembelihan hewan yang dikonsumsi umat Islam. Kehalalan daging ayam, bebek, unggas, kambing, sapi, atau kerbau yang beredar di pasaran saat ini sangat ditentukan dari bagaimana penyembelihan hewan tersebut di rumah potong hewan atau rumah potong unggas (RPH/U) atau tempat pemotongan hewan/unggas (TPH/U). Seiring dengan kebutuhan daging yang makin meningkat di masyarakat, siapa yang menjamin bahwa semua daging yang beredar, dipasarkan, dan diperdagangkan di masyarakat itu prosesnya halal, berasal dari hewan yang halal, penyembelihannya halal, dan karenanya kita aman mengkonsumsi.

Penyembelihan hewan hanyalah satu mata rantai halal (halal value chain). Meski daging hewan ternak itu dinyatakan halal, dan disembelih dengan cara halal (benar-sesuai syariat), tapi kehalalan daging tidak berhenti di situ. Kalau pengemasan atau pengolahan daging itu tidak benar (tak terstandar), apalagi bercampur dengan daging atau barang yang non-halal (haram, najis, kotor), maka bisa jatuh pada haram atau syubhat. Bahkan kalau distribusi dan penyajian daging halal tadi bercampur dengan daging/barang yang najis atau haram, bisa jadi daging yang awalnya halal menjadi haram atau syubhat.

Demikian kehati-hatian terhadap produk halal, maka soal itu urusan dari hulu hingga hilir. Sebagai ilustrasi sederhana, daging ayam atau sapi yang disembelih dengan benar itu halal. Tapi ketika diolah menjadi bakso atau nugget, di situ daging bercampur dengan bahan lain: tepung, kaldu, gula, kecap, bumbu, dan lain-lain. Pertanyaannya, apakah bahan-bahan itu halal dan memiliki sertifikat halal? Belum lagi saat nugget itu dimasak dengan minyak goreng. Apakah minyaknya halal? Kalau makan bakso dicampur dengan saos atau kecap, apakah bahan itu sudah pasti halal? Di sini pentingnya kita harus sadar halal.

Halal berarti diperbolehkan (oleh hukum agama) dan tidak haram. Makanan halal berarti diperbolehkan atau sah oleh hukum syariat di mana harus memenuhi beberapa kondisi yakni:
1. Tidak terdiri dari bahan-bahan yang mengandung hewan yang tidak diperbolehkan dalam hukum Islam, atau disembelih tidak dengan aturan syariat.
2. Tidak mengandung bahan-bahan yang najis
3. Aman dikonsumsi dan tidak berbahaya
4. Tidak diproduksi menggunakan alat-alat yang terkena najis
5. Makanan dan komposisi yang terkandung didalamnya tidak mengandung bagian dari makhluk hidup yang tidak diperbolehkan menurut hukum syariat
6. Pada saat persiapan, proses, pengemasan, dan juga penyimpanan, makanan secara fisik terpisah dari makanan lain yang haram atau berpotensi bercampur dengan barang haram.

Islam sangat peduli dengan makanan dan minuman yang memiliki dampak baik (halalan thayyiban), diperintahkan untuk dikonsumsi oleh umat muslim. Sebaliknya, makanan dan minuman yang memiliki efek buruk (buruk karena zatnya maupun pengaruh dari luar) dilarang untuk dikonsumsi.

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (Qs Al-Baqarah (2): 168).

Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya” (Qs Al-Maidah(5): 88) .

Mengkonsumsi produk halal merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam, manifestasi dari ketaatan terhadap agamannya, serta ketakwaan pada Tuhannya. Karenanya pengetahuan mengenai konsep halal sangat penting bagi tiap muslim. Diharapkan dengan pengetahuan itu akan muncul kesadaran halal. Mengetahui apa itu halal, memilih produk yang halal, dan memprioritaskan makanan halal untuk dikonsumsi.

Kenapa ini penting? Karena masyarakat dihadapkan pada situasi di mana kehalalan makanan saat ini memiliki tingkat kerawanan yang cukup tinggi. Konsumen dikelilingi banyak pilihan produk pangan dalam kemasan. Anak-anak memiliki pola konsumsi yang bahkan berbeda dengan orang tuanya. Kalau mereka tak memiliki literasi tentang halal, sementara pilihan jajanan, penganan yang beraneka rasa, enak, lezat itu berhamburan di depan mereka, jangan salahkan kalau mereka mengkonsumsi makanan asal enak, tapi belum jelas kehalalannya.

Dewasa ini perkembangan dunia usaha semakin pesat, sejalan dengan perkembangan populasi umat muslim dunia. Berdasarkan data dari Paw Research Center estimasi populasi muslim pada tahun 2030 akan mencapai 2,19 miliiar, meningkat dari data sebelumnya pada tahun 2010 yang hanya mencapai 1,61 miliiar. Peningkatan yang cukup signifikan ini akan menjadikan sebuah peluang yang baik bagi pengusaha yang menargetkan pasarnya pada segmen pasar umat muslim.

Permintaan konsumsi makanan halal pasti akan meningkat seiring dengan peningkatan populasi muslim dunia. Beberapa negara yang telah menetapkan arah pasar halal regional kawasan Asia, salah satunya adalah Indonesia. Indonesia sebagai negara yang memiliki populasi muslim terbesar di dunia dengan jumlah penduduk muslim 207 juta jiwa. Besarnya penduduk muslim Indonesia merupakan pasar potensial yang dituju oleh para produsen produk halal dari seluruh dunia. Kesadaran halal karenanya menjadi hal yang penting dipertimbangkan konsumen muslim untuk membeli suatu produk. Yakinilah bahwa produk halal adalah simbol kebersihan, keamanan, dan kualitas tinggi bagi konsumen muslim. (*)

*Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal, BPJPH Kemenag RI