Kolonel Hendi Suhendi

Oleh: Fadil Aulia

TIADA pidana tanpa kesalahan atau geen straf zonder schuld. Postulat ini nampaknya cocok digunakan untuk menganalisis kasus yang terjadi beberapa hari yang lalu. Tepatnya hari Jumat tanggal 11 Oktober 2019, masyarakat dihebohkan dengan adanya keputusan dari KSAD Jenderal Andika Perkasa yang menjatuhkan sanksi kepada dua anggota TNI AD, yaitu Kolonel HS dan Sersan Dua Z. Adapun sanksi yang dijatuhkan ialah Pelepasan Jabatan dan Penahanan ringan selama 14 hari. Penyebab penjatuhan sanksi kepada Kolonel HS dan Sersan Dua Z tersebut adalah postingan di media sosial yang dilakukan oleh IPDN yang merupakan isteri dari Kolonel HS dan LZ yang merupakan isteri dari sersan dua Z.

Sejak awal diumumkanya putusan pemberian sanksi hukum disiplin militer oleh KSAD Jenderal Andika Perkasa kepada dua anggotanya tersebut, memunculkan banyak pendapat yang tidak setuju di tengah-tengah masyarakat dan memunculkan pertanyaan di kalangan akademisi. Salah satu poin yang menjadi ketidaksetujuan masyarakat dan yang menjadi pertanyaan di kalangan akademisi adalah mengenai mengapa dua orang anggota TNI AD tersebut dijatuhi hukuman karena akibat dari perbuatan isterinya? 

Adanya ketidaksetujuan masyarakat dan munculnya pertanyaan dari kalangan akademisi menunjukkan bahwa putusan yang diambil oleh KSAD Jenderal Andika tersebut bermasalah. Sebagaimana pemberitaan yang ada di media masa, alasan pengenaan sanksi kepada dua anggota TNI AD itu adalah UU No. 25 Tahun 2014 Tentang Hukum Disiplin Militer.

Pertanggungjawaban Pidana

Penjatuhan hukuman kepada dua anggota TNI AD dalam kasus tersebut sangat berkaitan sekali dengan pertanggungjawaban pidana. Berbicara mengenai pertanggungjawaban pidana maka kita berbicara mengenai orang yang melakukan perbuatan pidana. Elemen terpenting dari pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan. Artinya seseorang hanya bisa dipertanggungjawabkan apabila seseorang tersebut melakukan kesalahan.

Dalam pertanggungjawaban pidana itu dikenal adanya asas geen straf zonder schuld atau keine strafe ohne schuld yang artinya tiada pidana tanpa kesalahan. Asas ini menjadi dasar dari pada pertanggungjawaban pidana dan asas ini tidak ditemukan dalam undang-undang. Asas ini juga diperkuat dengan postulat lain yaitu nemo punitur sine injuria, facto, seu defalta. Yang artinya, tidak ada seorangpun yang dihukum kecuali ia telah berbuat salah. Dari beberapa asas diatas dapat diketahui bahwa seseorang itu hanya bisa dimintai pertanggungjawaban apabila seseorang tersebut melakukan kesalahan/tindak pidana yang diatur dalam undang-undang.

Individual Criminal Responsibilty

Nah, di sisi lain, pertanggungjawaban pidana itu pada hakikatnya hanya bisa dimintakan kepada seseorang atau individu yang melakukan kesalahan atau tindak pidana itu sendiri. Artinya seseorang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain, inilah yang dalam hukum pidana dikenal dengan individual criminal responsibility. Kemudian timbul pertanyaan, siapakah individu yang bisa dikatakan sebagai seseorang yang melakukan tindak pidana itu?

Ada 4 (empat) kategori yang bisa dianggap sebagai individu yang melakukan tindak pidana dalam hukum pidana, yaitu terdiri dari Pleger (pelaku), Doenpleger (yang menyuruh lakukan), Medepleger (orang yang turut serta) dan Uitlokker (orang yang menganjurkan).

Vicarious Liability

Akan tetapi, terhadap sistem individual criminal responsibility terdapat pengecualian dalam penerapannya yang dikenal dengan sistem vicarious liability. Bahwa seseorang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain. Misalnya seorang ayah bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh anaknya. Namun, sistem vicarious liability ini pada dasarnya tidak berlaku dalam hukum pidana positif di Indonesia. Sistem vicarious liability pada dasarnya hanya berlaku untuk hukum perdata.

Lalu bagaimana dengan Hukum Disiplin Militer?

Dalam hukum disiplin militer vicarious liability ini ternyata berlaku. Dalam hukum disiplin militer dikenal adanya istilah tanggung jawab komando. Pasal 15 huruf d, UU No. 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer mengatakan bahwa “dalam memberikan perintah kepada bawahannya, atasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 wajib bertanggung jawab atas isi perintah yang diberikan”.

Akan tetapi, vicarious liability dalam hukum disiplin militer hanya berlaku bagi atasan atas tindak pidana yang dilakukan oleh bawahannya. Lalu bagaimana dengan isteri seorang anggota militer yang melakukan tindak pidana, apakah terhadap suaminya yang merupakan anggota militer berlaku vicarious liability seperti halnya yang terjadi pada Kolonel HS dan Sersan Dua Z?

Jika melihat UU No. 25 Tahun 2014 tidak ada pasal lain terkait dengan pemberlakuan vicarious liability selain dari pada pasal 15 huruf d. Itu artinya seorang anggota militer tidak bisa dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh keluarganya baik itu isterinya, anaknya dan keluarga lainnya. Oleh karena itu, terkait dengan kasus tersbeut penjatuhan hukuman kepada Kolonel HS dan Sersan Dua Z atas perbuatan yang dilakukan oleh isterinya tidaklah tepat, terlebih lagi penjatuhan hukuman tersebut menggunakan dasar UU No. 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer. Karena jelas tidak ada pasal dan juga penjelasan pasal terkait dengan pemberlakuan vicarious liability dalam undang-undang tersebut selain dari pada pasal 15 huruf d.

Penjatuhan hukuman kepada dua anggota militer tersebut sangat dipaksakan sekali. Seolah-oleh jika hukuman itu tidak dijatuhkan akan membawa dampak yang negatif terhadap institusi militer itu sendiri. Seharusnya KSAD Jenderal Andika Perkasa tidak langsung memberikan hukuman itu. Para pihak yang bersangkutan bisa dimintai keterangannya terlebih dahulu, terlebih terhadap perbuatan yang dilakukan oleh isteri dua anggota militer tersebut belum bisa dikatakan sebagai tindak pidana. Jadi pengambilan keputusan yang dilakukan oleh KSAD tersebut bisa dikatakan prematur secara hukum. (*)

* Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada