Laut Cina Selatan

Kastara.ID, Bogor – Setelah sempat terhenti akibat pandemi Covid-19 pada tahun 2020, Lokakarya Laut China Selatan kembali digelar tanggal 13-14 Oktober 2021. Kegiatan tahun ini adalah Lokakarya ke-30 sejak pertama kali dilaksanakan tahun 1990. Kegiatan diikuti oleh 67 peserta dari 11 participating parties di kawasan Laut China Selatan, yaitu Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Thailand, Tiongkok, Chinese Taipei, dan Viet Nam.

Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar membuka Lokakarya dengan menekankan pentingnya kerja sama dan kolaborasi di antara participating parties untuk membahas dan mengelola tantangan bersama di kawasan Laut China Selatan, seperti perubahan iklim dan dampak kenaikan permukaan air laut. Dalam pertemuan, Teuku Faizasyah selaku Plt. Kepala Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri, Kementerian Luar Negeri, menyampaikan bahwa lokakarya merupakan kesempatan mengembangkan kerja sama yang saling menguntungkan. Lebih lanjut, ditekankan bahwa perlu terus dikembangkan kebiasaan dialog dan komunikasi sehingga menciptakan ruang untuk mencari solusi atas tantangan bersama di kawasan Laut China Selatan.

Dalam peringatan Lokakarya ke-30 ditampilkan perjalanan Lokakarya selama 30 tahun yang telah bekerja sama di bidang perubahan iklim dan lingkungan hidup, ilmu pengatahuan dan teknologi, serta kerja sama ekonomi dan pembangunan. Lokakarya didahului oleh Pertemuan Kelompok Kerja yang membahas studi tentang gelombang dan kenaikan permukaan laut dan dampaknya terhadap lingkungan pesisir di Laut China Selatan.

Prof. Dr. Muh Aris Marfai, M.Sc., Kepala Badan Informasi Geospasial, menekankan pentingnya kerja sama dan pembahasan mengenai perubahan iklim di Laut China Selatan yang memerlukan sinergi antar negara di kawasan tersebut. Isu kenaikan permukaan air karena peningkatan suhu global perlu dihadapi bersama dengan berbagi ilmu dan pengalaman untuk melakukan mitigasi dampak kenaikan muka laut terhadap masyarakat di pesisir.

Selama dua hari para peserta saling berbagi pengalaman dan membahas berbagai isu yang menjadi kepentingan bersama, antara lain dampak, adaptasi dan kebijakan dalam perubahan iklim termasuk dan dampak kenaikan permukaan laut terhadap masyarakat di pesisir di wilayah Laut China Selatan. Selain itu, dibahas isu-isu lain seperti ekonomi biru dan sampah laut di Laut China Selatan dan dorongan kerja sama minyak nabati berkesinambungan di Laut China Selatan.

Workshop on Managing Potential Conflicts in the South China Sea pertama kali diselenggarakan pada tanggal 22-24 Januari 1990 di Bali. Sejak saat itu, lokakarya, yang tidak hanya melibatkan pemerintah tetapi juga swasta dan akademisi (1,5 track), secara konsisten menjadi wadah dialog dan kerja sama di berbagai proyek sebagai sarana membangun sikap saling mengerti untuk mencapai tujuan bersama di kawasan Laut China Selatan yang damai, stabil, dan sejahtera. (ant)