Selayang Pandang

Oleh: Erros Djarot

SAAT menulis artikel ‘Buat Yang Ingin Jokowi Menang’ pada terbitan yang lalu, banyak yang meminta saya agar tulisan yang sama dibuat juga untuk kubu Prabowo. Maka pagi ini saya sengaja menurunkan tulisan ini. Pasalnya, kedua kubu saling meyakini bahwa kemenangan ada di kubu mereka. Gemuruhnya dukungan kepada kubu Jokowi-Ma’ruf Amin dari berbagai persatuan almamater perguruan tinggi sampai SMA, tidak menyurutkan keyakinan kubu Prabowo. Mereka yang lebih mengandalkan kerja keras dalam mengolah lapangan politik, meyakini bahwa kerja mereka yang bergerak dari door to door, pengajian satu ke pengajian yang lain, dan dari surau ke surau di seluruh pelosok Tanah Air (5 waktu sehari), akan membuahkan hasil yang bakal melahirkan kejutan.

Keyakinan ini seakan tak menghiraukan reaksi kaum Nahdliyin yang tergabung dalam Nahdlatul Ulama (NU) yang tentunya tidak akan membiarkan petinggi puncak NU yang maju sebagai Wakil Presiden mengalami kekalahan. Keyakinan kubu Prabowo didasari kenyataan bahwa massa pendukung dari kaum Nahdliyin NU, tidak segairah seperti pada saat mereka memberi dukungan kepada Gus Dur. Masalah militansi ini merupakan masalah besar dalam komunitas kaum Nahdliyin di berbagai daerah yang tidak memiliki tuntutan politik yang sama. Hal mana ditandai dengan berbagai tuntutan politik dari komunitas kaum Nahdliyin yang bersifat normatif-proporsional berdasarkan kepentingan daerah dan kebutuhan sesaat. Mengingat juga bahwa NU bukanlah sebuah entitas politik, namun lebih pada entitas sosial-kultural.

Dalam hal ini, kubu Prabowo masih berpeluang untuk melakukan penetrasi dengan membawa sejumlah program dan bantuan konkrit kepada komunitas kaum Nahdliyin yang bertebaran di seluruh Indonesia. Kerja ini sangat bisa membuahkan hasil yang baik asalkan para tokoh agama yang mengelilingi Prabowo tidak memberi pencitraan bahwa pemikiran dan kultur kaum Wahabi melekat pada diri mereka. Dukungan yang diberikan oleh PKS tidak selalu menguntungkan ketika upaya merangkul kaum Nahdliyin dijadikan sebuah program politik kampanye.

Satu hal lagi yang masuk dalam catatan adalah statemen politik orang-orang yang berada di sirkel 1 Prabowo. Kerap kali statemen politik mereka justru membuat  para pemilih ragu untk memberikan dukungan suaranya. Seperti terjadi ketika Hasyim, adik Prabowo, dengan lantang mengatakan bahwa sebagai partai terbuka Gerindra akan membuka pintu bagi siapa saja yang mau bergabung…bahkan anak PKI sekali pun welcome. Pernyataan politik yang meluncur tanpa sensitivitas politik ini, jelas akan membuat para pendukung yang berada di garis Islam militan, merasa tak nyaman dan bisa jadi berbalik meninggalkan Prabowo-Sandi Uno, atau setidaknya Golput.

Hal lain yang akan mengikis simpati dan dukungan kepada Prabowo adalah perilaku dan sikap kurang simpatik yang dilakukan oleh para elite partai dan pendukung yang mengelilingi Prabowo. Tembakan politik yang dikemas lewat puisi misalnya, dan nyanyian-nyanyian anak-anak yang dipelesetkan liriknya sehingga membuahkan sarkasme bagi lawan politik, seringkali malah membuat yang menerima menjadi jenuh, tak bermutu, karena yang mereka harapkan justru arahan politik ke mana Indonesia akan dibawa saat Prabowo berkuasa. Dengan kata lain, mendisiplinkan celotehan para  pembantu Prabowo di sirkel satunya, merupakan hal yang perlu diperhatikan dengan serius.

Hal yang tak kalah penting adalah masalah akurasi data. Sering kali serangan politik tidak disertai akurasi data yang meyakinkan. Sehingga pada saat counter dari pihak lawan datang, yang terjadi seringkali justru penyangsian akan kebenaran pernyataan politik yang digunakan untuk menelanjangi lawan politiknya. Ke mana pasukan IT kubu paslon nomor urut 02  berada? Jumlah mereka yang konon mencapai sampai jutaan titik, tak terasa kinerjanya dalam mendongkrak elektabilitas Prabowo.

Melakukan gempuran lewat lontaran isu yang dikemas dengan semangat menebar kebencian dan pemojokan yang agresif, rasanya bukan cara berkampanye yang disukai rakyat Indonesia. Gaya-gaya Amerika sebagaimana Trump melakukan kampanyenya, bukan sesuatu yang disukai dan dapat diterima sebagai kampanye politik yang sah-sah saja untuk dilakukan. Dalam hal ini jadi teringat phrase yang terkenal dalam pergaulan anak Medan… ”Ini Indonesia Bung.., bukan Amerika!”

Terakhir dan yang terpenting adalah kerja keras mengemas penampilan Prabowo dalam sisa dua bulanan masa kampanye ini. Agar di setiap penampilannya, menebar senyum dengan wajah yang damai menyejukkan dapat dilakukan Prabowo. Penampilan yang terkesan marah-marah dengan suara nada tinggi, hanya akan menggiring opini publik bahwa Prabowo yang kasar dan penculik, semakin melekat dan sengaja dilekatkan oleh kubu lawan politiknya.

Saya masih menilai bahwa mayoritas di lapisan bawah yang jutaan dan bakal sangat menentukan hasil Pemilu, adalah massa yang dalam menjatuhkan pilihan lebih di dominasi oleh rasa like and dislike, bukan oleh program politik dan ekonomi yang hebat-hebat dan menggelegar.

Semakin masifnya dukungan massa kelas menengah kepada Jokowi, memang bukan merupakan jaminan yang bersifat pasti Jokowi-Ma’ruf Amin akan keluar sebagai juaranya. Masih banyak faktor yang diperlukan untuk menjadikannya sebuah kepastian. Pada celah-celah inilah kubu Prabowo masih memiliki harapan. Kecuali pembusukan dilakukan justru oleh inner Circle-nya pak Jokowi, kemungkinan Prabowo unggul menjadi lebih terbuka. Begitu pun sebaliknya, yang ada pada kubu Prabowo. Kerja keras dan kerja cerdas menjadi hanya satu-satunya pilihan!

Kepada Prabowo dan Jokowi, selamat bertarung dalam damai dan semangat persaudaraan yang tinggi… semoga! (watyutink/*)

*Budayawan