Indonesia Industrial Summit (IIS) 2019

Kastara.ID, Tangerang – Industri manufaktur memegang peranan penting terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Saat ini, industri manufaktur mampu memberikan kontribusi kepada Produk Domestik Bruto (PDB) nasional sebesar 20 persen.

“Dari capaian 20 persen tersebut, Indonesia menempati peringkat kelima di antara negara G20,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di sela acara Indonesia Industrial Summit (IIS) 2019 di ICE BSD, Tangerang, Banten, Senin (15/4).

Posisi Indonesia berada setelah China, dengan sumbangsih industri manufakturnya mencapai 29,3 persen. Kemudian, disusul Korea Selatan (27,6%), Jepang (21%) dan Jerman (20,7%). “Kalau kita lihat rata-rata kontribusi manufaktur dunia saat ini sekitar 15,6 persen. Jadi, sudah tidak ada satu negara di manapun yang di atas 30 persen,” ungkap Menperin.

Lebih lanjut, menurutnya, jika dibandingkan era tahun 90-an ketika kontribusi manufaktur Indonesia yang saat itu menyentuh angka 30 persen, tetapi PDB Indonesia secara keseluruhan adalah USD 95 miliar. “Nah, sekarang 20 persen itu dari USD 1000 triliun. Jadi tentu magnitude-nya berbeda. Dulu sekitar USD 300 miliar, saat ini skalanya sudah naik 10 kali,” papar Airlangga.

Jadi, tidak tepat kalau Indonesia dikatakan sebagai negara yang mengalami deindustrialisasi. Apalagi, saat ini Indonesia masuk dalam 16 besar negara yang memiliki perekonomian terkuat di dunia. “Karena pertumbuhan ekonomi dan kontribusi industri kita bagus, maka Indonesia menjadi country partner di Hannover Messe pada tahun 2022,” imbuhnya.

Indonesia menjadi negara ASEAN pertama yang dipercaya sebagai mitra resmi penyelenggaraan pameran teknologi manufaktur terbesar di dunia tersebut. Inipun merupakan salah satu bentuk pengakuan Indonesia yang semakin mengukuhkan diri sebagai salah satu kekuatan industri dunia.

Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga menegaskan hal yang sama bahwa Indonesia tidak sedang dalam fase deindustrialisasi. “Berdasarkan capaian kontribusi sektor manufaktur kita saat ini, tidak benar kalau deindustrialisasi,” jelasnya.

JK menyampaikan, selama ini sektor industri manufaktur memberikan kontribusi besar terhadap PDB nasional. Dalam kurun 4 tahun terakhir, rata-rata sumbangsihnya mencapai 21,30 persen. “Artinya, industri tetap menjadi kontributor tertinggi dalam pendapatan nasional. Maka itu, kita terus pacu pengembangan sektor manufaktur,” imbuhnya.

Oleh karena itu, menurut Wapres, sudah saatnya industri nasional perlu memanfaatkan teknologi yang berkembang saat ini dalam upaya meningkatkan produktivitas dan kualitas secara lebih efisien. “Sebab, kemajuan teknologi telah mengubah segalanya, baik cara kita untuk berproduksi, berperilaku, hingga terhadap hubungan sosial,” ujarnya.

Perubahan-perubahan tersebut tidak lagi bisa ditolak, tetapi harus direbut peluang dan manfaat atas kemajuan teknologi, terutama era industri 4.0, guna memajukan sektor manufaktur nasional agar berdaya saing global. “Kami mengapresiasi kepada para pelaku industri dan profesional yang telah mendapat penghargaan atas pencapaian penerapan industri 4.0 tahun ini,” ungkap JK.

Lampaui pertumbuhan ekonomi

Di samping itu, Menperin menyampaikan, beberapa kinerja sektor manufaktur mampu melampaui pertumbuhan ekonomi nasional. Misalnya, industri mesin dan perlengkapan yang tumbuh sebesar 9,49 persen, industri kulit dan alas kaki sebesar 9,42%, serta industri logam dasar mencapai 8,99%.

“Performa manufaktur Indonesia juga dapat dilihat dari PMI periode 2018 sampai Maret 2019 yang menyentuh di level 52,65 atau berada di atas angka 50, yang menunjukkan bahwa sektor industri manufaktur sedang ekspansif. Jadi, bukan deindustrialisasi,” paparnya.

Airlangga pun mengemukakan, sektor industri merupakan kontributor terbesar dalam penerimaan negara melalui setoran pajak yang mencapai Rp 363,60 triliun atau 30 persen dari total penerimaan pajak tahun 2018. Capaian ini meningkat 11,12 persen dibanding tahun sebelumnya. Selain itu, industri mampu menyumbang penerimaan cukai sebesar Rp 159,7 triliun.

“Kemudian dari segi investasi, sektor industri penyumbang investasi terbesar dalam 4 tahun terakhir (2014-2018) selalu yang tertinggi, yaitu sebesar 41,8 persen dari total realisasi investasi,” tuturnya. Industri juga merupakan penyumbang terbesar terhadap nilai ekspor Indonesia yang mencapai 72,2 persen atau USD 130 miliar pada tahun 2018.

“Ekspornya itu bukan dalam bentuk komoditas. Misalnya, mulai dari gerbong kereta api, stainless steel, kendaraan roda empat maupun roda dua, kertas, perhiasan, hingga furnitur. Ini semua adalah karya dan produksi Indonesia yang telah diakui dunia,” tegas Menperin.

Selanjutnya, sektor industri memberikan peluang penyerapan tenaga kerja yang terus meningkat dari tahun ke tahun, yaitu dari 15,54 juta orang pada tahun 2015 menjadi 18,25 juta orang di tahun 2018 atau tumbuh rata-rata 677 ribu orang per tahun.

Oleh karena itu, hilirisasi industri terus didorong oleh pemerintah karena terbukti nyata memberikan efek berantai yang luas bagi perekonomian nasional. Contohnya, yang terjadi di kawasan industri Morowali, melalui aktivitas smelter nikel.

“Di sana, lima tahun yang lalu, ekspornya nikel ore hanya berkisar USD 200 juta, namun kini dengan masuknya industri stainless steel, yang investasinya mencapai USD 5 miliar, sekarang ekspornya sudah tembus di atas USD 5 miliar atau terjadi kenaikan 25 kali lipat,” ungkapnya.

Di sektor otomotif pun menunjukkan pendalaman struktur yang signfikan dan mampu menyerap tenaga kerja langsung hingga satu juta orang. “Bahkan saat ini, sudah ada 4 pabrikan besar yang telah menjadikan Indonesia sebagai bagian dari rantai supply global. Dan, dalam waktu dekat, ada beberapa prinsipal yang akan bergabung, sehingga menjadikan Indonesia sebagai hub manufaktur otomotif wilayah Asia,” imbuhnya. (mar)